f ' Inspirasi Pendidikan: Literasi Mahasiswa

Inspirasi Pendidikan untuk Indonesia

Pendidikan bukan cuma pergi ke sekolah dan mendapatkan gelar. Tapi, juga soal memperluas pengetahuan dan menyerap ilmu kehidupan.

Bersama Bergerak dan Menggerakkan pendidikan

Kurang cerdas bisa diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki (Bung Hatta)

Berbagi informasi dan Inspirasi

Tinggikan dirimu, tapi tetapkan rendahkan hatimu. Karena rendah diri hanya dimiliki orang yang tidak percaya diri.

Mari berbagi informasi dan Inspirasi

Hanya orang yang tepat yang bisa menilai seberapa tepat kamu berada di suatu tempat.

Mari Berbagi informasi dan menginspirasi untuk negeri

Puncak tertinggi dari segala usaha yang dilakukan adalah kepasrahan.

Tampilkan postingan dengan label Literasi Mahasiswa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Literasi Mahasiswa. Tampilkan semua postingan

Selasa, 24 Juni 2025

KELAS BUKAN TEMPAT CERAMAH: STRATEGI AKTIF UNTUK PEMBELAJARAN BERMAKNA

 Oleh: Noor Aziza Nilla Prihandika


Seringkali saya berpikir, kenapa di Indonesia masih banyak kelas di sekolah yang suasananya tidak jauh berbeda dengan ruang seminar atau khutbah yang sifatnya satu arah? Dimana seorang guru berdiri di depan, kemudian berbicara lebar terkait pembelajaran, sementara para siswanya hanya duduk, mendengarkan, mentatat, atau hanya sekedar memperhatikan tanpa benar- benar memahami apa yang dibicarakan. Dalam hati saya sering bergumam: Apakah ini yang dinamakan proses belajar?

Menurut pendapat saya, kelas harusnya bukan menjadi tempat ceramah semata, disclimer bukan berarti saya menolak sepenuhnya metode ceramah, karena menurut saya ada kalanya dimana metode ceramah dibutuhkan untuk menjelaskan konsep dasar atau menyampaikan informasi tertentu. Akan tetapi, jika sepanjang jam pelajaran hanya diisi oleh ceramah guru, sementara siswa hanya menjadi pendengar pasif, rasanya itu bukan proses pembelajaran sebagaimana mestinya. Disini saya tidak sedang menyalahkan seorang guru ataupun menganggap metode ceramah itu salah total. Akan tetapi saya percaya, ceramah bukan satu- satunya metode terbaik dalam menanamkan pemahaman bagi siswa. Apalagi dizaman sekarang yang dimana informasi bisa diakses dengan sangat mudah dari mana saja, sehingga peran guru bukan lagi satu- satunya sumber informasi dan pengetahuan. Sehingga depat dikatakan peran guru berubah dari pusat informasi menjadi fasilitator pembelajaran.

Bagi saya, pembelajran yang bermakna dan efektif itu tidak berasal dari banyaknya materi yang dituangkan ke papan tulis, namun ia lahir dari keterlibatan siswa secara aktif. Dengannya, siswa perlu diberi ruang untuk bertanya, berdiskusi, mencoba, meneliti, bahkan berdebat dalam ranah Pendidikan. Karena dengan cara tersebutkan siswa dapat membangun pemahaman mereka.

Strategi pembelajaran aktif tidak harus selalu kompleks. Kadang cukup dengan mengajak siswa berdiskusi bersama, meminta mereka untuk memecahkan sebuah permasalahan, bermain peran, atau hanya sekedar menulis refleksi dari apa yang

telah mereka pelajari. Dengan hal- hal sederhana ini dapat mengubah suasana kelas menjadi lebih dinamis, interaktif, dan penuh makna. Mengubah pola mengajar bagi seorang guru pun juga bukanlah hal yang mudah, semua membutuhkan waktu dan usaha yang maksimal. Namun saya percaya, perubahan akan mungkin terjadi bila ada kemauan. Pelan- pelan mulailah dengan langkah kecil, bak kata pepatan sedikitsedikit lama- lama menjadi bukit.

Dengan ini, saya berharap siapapun yang peduli terhadap Pendidikan, baik seorang guru, calon guru, orang tua, ataupun pembuat kebijakan untuk memikirkan ulang; apakah cara mengajar di kelas sudah cukup memberikan ruang bagi siswa untuk benar- benar belajar? Atau justru membuat mereka jenuh, pasif, atau malah menjauh dari esensi Pendidikan itu sendiri?

Karena pada akhirnya, tujuan Pendidikan bukan hanya mencetak siswa yang bisa menjawab tiap soal yang diujikan tiap semester saja, akan tetapi membentuk sorang yang mampu berpikir, bersikap, dan memiliki kontribusi baik bagi dunia sekitarnya. Dan sekali lagi, hal itu akan sulit dicapai jika kelas bukannya dijadikan tempat tumbuhnya ide dan eksplorasi namun terus dijadikan sebagai tempat ceramah.
---------  
*Penulis adalah mahasiswa Jurusan PAI, UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

GURU 'DIGUGU DAN DITIRU", TAPI TIDAK SEJAHTERA: SEBUAH IRONI PAHLAWAN TANPA TANDA JASA

 Oleh: Muhammad Muslih

Guru adalah pilar utama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dinyatakan bahwa guru merupakan tenaga profesional yang memiliki tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Namun, di balik peran strategis itu, kesejahteraan guru di Indonesia masih menjadi persoalan serius yang belum kunjung selesai.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, gaji rata-rata guru honorer di Indonesia berkisar antara Rp300.000 hingga Rp1.000.000 per bulan, jauh dari upah minimum regional di sebagian besar wilayah. Bahkan, menurut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, terdapat lebih dari 700 ribu guru honorer yang belum tersertifikasi hingga tahun 2024.

Selain permasalahan ekonomi, banyak guru juga menghadapi tekanan psikologis dan beban kerja yang tidak proporsional. Mereka dituntut untuk melaksanakan administrasi pembelajaran yang kompleks, mengikuti pelatihan berkelanjutan, serta menjaga kualitas pembelajaran, namun tanpa imbalan yang layak.

Kondisi ini tidak hanya menciptakan ketimpangan sosial, tapi juga meruntuhkan semangat profesionalisme. Guru—yang seharusnya menjadi teladan dan inovator—terpaksa mencari pekerjaan sampingan demi menutupi kebutuhan dasar. Dalam jangka panjang, ini bisa merusak mutu pendidikan nasional secara sistemik.

Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah program seperti tunjangan profesi guru (TPG), inpassing, dan program PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Namun, realisasi di lapangan sering kali tidak merata. Banyak guru mengeluhkan proses administrasi yang rumit, kuota terbatas, hingga ketidakjelasan status kepegawaian

bukannya memberikan solusi yang menyeluruh, kebijakan ini malah menciptakan kelas baru dalam dunia Pendidikan seperti guru ASN dan non-ASN, serta guru yang bersertifikat dan yang tidak. Sebenarnya, inti dari kesejahteraan guru seharusnya berada pada pengakuan bersama atas jasa dan sumbangsihnya, bukan pada status administratif belaka

Sebagian besar pendidikan di Indonesia, khususnya yang berada di Lokasi terpencil seperti pedesaan, guru membawa beban terlalu berat seperti masuk beberapa kelas dengan beda tingkatan dalam satu hari, guru mengampu beberapa mata Pelajaran, bahkan menjalankan tugas sebagai kepala sekolah. Namun, di sisi lain, kondisi kesejahteraan finansial mereka belum sebanding dengan beban kerja yang mereka tanggung

Terlalu sederhana jika kita berharap bahwa mutu pendidikan dapat meningkat sementara kesejahteraan para pengajar tetap diabaikan. Di setiap lingkungan kerja, kualitas hasil tidak dapat dipisahkan dari situasi kerja dan kompensasi yang diterima. Oleh karena itu, memperjuangkan upah yang layak bagi guru bukanlah sekadar tindakan dermawan, tetapi merupakan sebuah kewajiban moral dan professional.

Sudah saatnya kesejahteraan guru ditempatkan sebagai bagian dari reformasi pendidikan yang hakiki. Pendidikan bukan sekadar soal kurikulum dan teknologi, tapi tentang siapa yang menjalankannya guru. Jika guru dibiarkan terus berjuang sendiri, maka bangsa ini sedang mempertaruhkan masa depannya.

Sumber Bacaan:

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Badan.
Pusat Statistik (BPS), Statistik Pendidikan 2023.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
----------------
* Penulis adalah mahasiswa Jurusan PAI UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

PENDIDIKAN KITA BUKAN KURANG KURIKULUM, TAPI KURANG ARAH.

 Oleh: Muhammad Shlahudin Al Farabi

Pendidikan seharusnya menjadi sarana pembentukan manusia seutuhnya, bukan hanya tempat memperoleh nilai dan ijazah. Kurikulum memiliki peran penting dalam membimbing peserta didik agar mampu berpikir mandiri, beradaptasi dengan perkembangan zaman, dan menjalani kehidupan secara bermakna[1]. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia Indonesia yang religius, berbudi pekerti luhur, cerdas, dan mandiri[2]. Oleh karena itu, sistem pendidikan seharusnya lebih dari sekadar proses transfer pengetahuan, melainkan wadah yang mengembangkan karakter dan kepedulian sosial peserta didik. Sayangnya, harapan tersebut sering kali tidak tercermin dalam pelaksanaan di lapangan.

Di sisi lain, dinamika perubahan kurikulum di Indonesia justru menimbulkan kebingungan dan beban baru, alih-alih perbaikan yang nyata[3]. Kurikulum Merdeka, misalnya, meskipun membawa konsep yang terdengar inovatif, masih belum bisa diterapkan secara optimal karena keterbatasan sarana dan kurangnya pelatihan bagi tenaga pendidik[4]. Banyak guru harus menghabiskan waktu untuk memenuhi tuntutan administratif, sementara siswa masih berfokus pada nilai akhir ketimbang makna belajar[5]. Proses pembelajaran pun menjadi kehilangan arah. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan utama pendidikan kita bukan pada kekurangan kurikulum, melainkan pada ketiadaan arah pendidikan yang jelas dan berkelanjutan.

Selama kurang lebih dua puluh tahun terakhir, sistem pendidikan di Indonesia telah mengalami enam kali perubahan kurikulum, mulai dari Kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat saat pandemi, hingga Kurikulum Merdeka yang diterapkan sejak 2022. Frekuensi perubahan ini menunjukkan bahwa pendidikan kita cenderung bergerak tanpa arah yang pasti[6]. Padahal, dalam sistem pendidikan yang ideal, kurikulum bukan sesuatu yang bisa diganti sewaktu-waktu, melainkan harus dibangun atas dasar visi jangka panjang yang kuat.

Perubahan yang terlalu sering ini mengindikasikan bahwa Indonesia belum memiliki pijakan filosofis yang mantap dalam menentukan arah pendidikan nasional. Pergantian kurikulum lebih banyak dipengaruhi oleh dinamika politik, pergantian kepemimpinan, atau sekadar merespons situasi sementara, bukan dari evaluasi mendalam terhadap tujuan pendidikan[7]. Akibatnya, para pendidik dan peserta didik sering kali menjadi korban dari kebijakan yang belum matang. Proses belajar pun terjebak dalam transisi terus-menerus yang melelahkan. Hal ini mempertegas bahwa inti masalah pendidikan kita bukan semata-mata terletak pada bentuk kurikulum, tetapi pada ketidakjelasan arah pendidikan itu sendiri.

Kemudian ada fenomena lima tahunan yang sering kali muncul yakni, bergantinya kurikulum setiap kali terjadi pergantian Menteri Pendidikan[8], hal ini mencerminkan bahwa Indonesia belum memiliki arah pendidikan yang konsisten dan berkesinambungan. Seharusnya, kurikulum dirancang berdasarkan visi jangka panjang yang tetap relevan meski terjadi perubahan kepemimpinan. Namun dalam kenyataannya, kurikulum justru sering berubah mengikuti kebijakan menteri baru, seolah menjadi agenda individu bahkan ada isu kurikulum pesanan, bukan bagian dari rencana nasional yang utuh. Hal ini menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah dalam menjaga kesinambungan pendidikan serta ketiadaan peta jalan yang jelas menuju masa depan.

Lebih dari itu, isi kurikulum yang diajarkan pun sering kali tidak selaras dengan kebutuhan nyata masyarakat. Banyak materi yang bersifat teoritis dan normatif, namun minim relevansi dengan tantangan kehidupan sehari-hari maupun dunia kerja[9]. Akibatnya, lulusan pendidikan formal justru kerap kesulitan beradaptasi di lapangan. Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa perencanaan pendidikan Indonesia belum benar-benar berpijak pada kebutuhan rakyatnya. Kurikulum berubah, tetapi orientasinya tetap tidak jelas—tidak menjawab tantangan zaman, tidak membekali peserta didik dengan keterampilan esensial, dan tidak mengarahkan pendidikan ke masa depan yang nyata.

Akar persoalan pendidikan di Indonesia bukan semata-mata terletak pada jumlah atau bentuk kurikulum, melainkan pada absennya arah yang konsisten dan visi jangka panjang yang kokoh. Pergantian kurikulum yang terlalu sering, tanpa dasar filosofis yang kuat, mencerminkan betapa pendidikan kita masih terombang-ambing oleh dinamika kebijakan jangka pendek. Namun, kondisi ini seharusnya tidak memadamkan semangat kita untuk terus belajar dan berkarya. Justru di tengah ketidakpastian sistem, kita ditantang untuk menjadi pribadi yang adaptif, berpikir kritis, dan mampu memberi manfaat bagi sesama. Apapun bidang yang kita tekuni, sekecil apa pun peran yang kita jalankan, selama dilakukan dengan niat tulus dan kepedulian terhadap negeri ini, maka kita telah turut serta menyalakan cahaya perubahan.

Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Ki Hadjar Dewantara, "Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah." Maka, biarlah kita memulai dari diri sendiri—dengan terus belajar, peduli, dan berbuat baik—karena masa depan Indonesia bukan hanya ditentukan oleh sistem, melainkan oleh mereka yang tak pernah lelah menyalakan harapan.

Daftar Pustaka:

[1] Mohamad Rifqi Hamzah et al., “Kurikulum Merdeka Belajar sebagai Wujud Pendidikan yang Memerdekakan Peserta Didik,” Arus Jurnal Pendidikan 2, no. 3 (December 11, 2022): 221–26, https://doi.org/10.57250/ajup.v2i3.112.

[2] “Implementasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Di Blitar | Jurnal Supremasi,” accessed June 21, 2025, https://ejournal.unisbablitar.ac.id/index.php/supremasi/article/view/374.

[3] M. Afiqul Adib, “Evaluasi dan Kritik terhadap Pelaksanaan Kurikulum Merdeka: Perspektif Guru, Siswa, dan Pengelola Pendidikan,” SERUMPUN : Journal of Education, Politic, and Social Humaniora 3, no. 1 (February 26, 2025): 1–18, https://doi.org/10.61590/srp.v3i1.146.

[4] Indra Gunawan and Yohanes Bahari, “Problematika Kurikulum Merdeka Dalam Sudut Pandang Teori Struktural Fungsional (Study Literatur),” Journal Of Human And Education (JAHE) 4, no. 4 (July 13, 2024): 178–87, https://doi.org/10.31004/jh.v4i4.1191.

[5] “Ketika Guru Sibuk Urus Administrasi PMM, Mas Menteri Sayangilah Guru Kita!,” Detik Aceh News (blog), accessed June 21, 2025, https://www.detikacehnews.id/2024/06/ketika-guru-sibuk-urus-administrasi-pmm.html.

[6] medcom id developer, “6 Kali Ganti Kurikulum dalam 20 Tahun, Pendidikan Indonesia Mau Dibawa Kemana?,” medcom.id, April 30, 2025, https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/Obz58MxN-6-kali-ganti-kurikulum-dalam-20-tahun-pendidikan-indonesia-mau-dibawa-kemana.

[7] Fadhilah Sabrina et al., “Persepsi Publik Terhadap Pergantian Menteri Pendidikan: Studi Survei Di Kalangan Mahasiswa Dan Tenaga Pendidik,” Dinamika Pembelajaran : Jurnal Pendidikan Dan Bahasa 2, no. 1 (2025): 107–20, https://doi.org/10.62383/dilan.v2i1.1122.

[8] Bagelen Channel, “Ganti Menteri Ganti Kurikulum? Sebuah Tantangan dan Harapan Bangsa Indonesia Untuk Pendidikan Masa Depan Bagelen Channel, January 24, 2025, https://bagelenchannel.com/2025/01/ganti-menteri-ganti-kurikulum-sebuah-tantangan-dan-harapan-bangsa-indonesia-untuk-pendidikan-masa-depan/.

[9] Eps 860 | Berita Duka : Kurikulum Pendidikan Indonesia Cuma Omon Omon, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=Yb_Z5OiF4C8.

-------- 

* Penulis adalah Mahasiwa jurusan PAI UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

Selasa, 03 Desember 2024

Mengenal Gaya Belajar dan Gaya Kognitif Peserta Didik

Oleh: Pebri Nur Khusnul Khotimah & Intan Aprillia Putri*

Setiap siswa memiliki keunikan masing-masing. Salah satu keunikannya adalah gaya belajar mereka. Memahami gaya belajar peserta didik merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pendidik. Hal ini berfungsi agar pendidik dapat memberikan layanan sesuai dengan gaya belajar peserta didik. Selain itu, dengan memahami gaya belajar peserta didik, pendidik mampu memilih dan menentukan berbagai cara dan teknik pembelajaran yang mengakomodasi perbedaan setiap peserta didik sehingga pembelajaran dapat terlaksana dengan optimal. Selain Gaya Belajar, terdapat juga Gaya Kognitif yang juga bervariasi pada setiap peserta didik. Seorang pendidik juga diharapkan bisa mengidentifikasi gaya kognitif peserta didiknya sehingga capaian pembelajaran dapat dicapai secara maksimal. Pada artikel kali ini, akan kami kupas terkait dengan gaya belajar dan gaya kognitif peserta didik serta implementasinya dalam pembelajaran.
 
A.       Pengertian Gaya Belajar
Setiap siswa memiliki caranya masing-masing untuk mencerna informasi yang diterima di dalam kelas. Cara mencerna informasi ini disebut sebagai gaya belajar. Gaya belajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa akan menentukan keberhasilan mereka dalam belajar. Dengan kata lain, gaya belajar adalah suatu metode yang digunakan untuk menyerap dan mengolah informasi maupun pengetahuan agar mendapatkan hasil belajar yang maksimal.

B.        Jenis Gaya Belajar
Gaya belajar dibagi menjadi 3 bagian, yakni gaya belajar Visual, Auditorial, dan Kinestetik. Penjelasan lebih rinci dari masing-masing Gaya Belajar tersebut adalah sebagai berikut:

1)    Gaya Belajar Visual
Gaya belajar visual merupakan suatu cara pembelajaran di mana kekuatan belajar terletak pada indra penglihatan. Gaya belajar visual menitikberatkan kemampuan belajar melalui cara melihat, mengamati, dan memandang suatu objek, gambar, maupun film. Siswa dengan gaya belajar visual dapat dilihat dari karakteristik mereka yang khas. Beberapa contoh karakteristik siswa dengan gaya belajar visual seperti menyukai hal-hal yang bersifat rapi,  mengutamakan tampilan gambar dan kesesuaian warna dalam powerpoint (PPT) saat presentasi; mengingat sesuatu dari apa yang dilihatnya, lebih suka mencoret-coret buku ketika belajar, lebih suka membaca daripada dibacakan, dan lebih suka melakukan pertunjukan seperti demonstrasi daripada berpidato.

2)    Gaya Belajar Auditorial
Gaya belajar auditorial memiliki hal yang berkebalikan dengan gaya belajar visual. Gaya belajar auditorial lebih menitikberatkan kemampuan belajar pada indra pendengaran. Siswa yang memiliki gaya belajar auditorial lebih mudah untuk belajar dan mendapatkan stimulus dari suara atau penjelasan secara lisan.  Karakteristik siswa yang memiliki gaya belajar auditorial adalah mereka yang cenderung merasa terganggu dengan suasana ramai; lebih suka mengucapkan apa yang dia baca, lebih suka membaca dengan suara lantang, lebih suka berpidato daripada melakukan suatu pertunjukkan, lebih suka dibacakan,  dan lebih suka berdiskusi.

3)    Gaya Belajar Kinestetik
Gaya Belajar Kinestetik memiliki kecenderungan belajar dengan melakukan gerakan maupun menyentuh dan merasakan barang dengan indra perabanya. Siswa dengan gaya belajar kinestetik memiliki ciri-ciri yang selalu berorientasi pada fisik, menghafal dengan cara berjalan maupun menggerakkan tangan,  mengerjakan sesuatu bersamaan dengan gerakan-gerakan ringan pada tangan,  menggunakan jari, pensil, bolpoin maupun peraga yang lain sebagai penunjuk ketika membaca,  dan tidak dapat duduk diam dalam waktu yang lama.
 
C.      Pengertian Gaya Kognitif
Berbeda dengan Gaya Belajar, Gaya Kognitif memiliki pengertian dan cara mengimplementasikan tersendiri. Desmita (2012) menjelaskan bahwa gaya kognitif adalah karakteristik individu dalam menggunakan fungsi kognitif (berpikir, mengingat, memecahkan masalah, dan sebagainya) yang bersifat konsisten dan lama. Pendapat lain seperti Shi (2011: 20) mendefinisikan gaya kognitif sebagai sebuah konsep psikologis yang berkaitan dengan bagaimana seorang individu memproses informasi.

D.  Jenis-Jenis Gaya Kognitif

1)    Field Dependent (FD) – Field Independent (FI)
Siswa dengan gaya kognitif FI cenderung memilih belajar individual, menanggapi dengan baik, dan bebas (tidak bergantung pada orang lain). Sedangkan, siswa yang memiliki gaya kognitif FD cenderung memilih belajar dalam kelompok dan sesering mungkin berinteraksi dengan siswa lain atau guru, memerlukan penguatan yang bersifat ekstrinsik.
 2)  Impulsif – reflektif
Merupakan gaya kognitif yang didasarkan atas perbedaan konseptual tempo yaitu perbedaan gaya kognitif berdasarkan atas waktu yang digunakan untuk merespon suatu stimulus. Orang yang memiliki gaya kognitif impulsif menggunakan alternatif-alternatif secara singkat dan cepat untuk menyeleksi sesuatu. Mereka menggunakan waktu sangat cepat dalam merespon, tetapi cenderung membuat kesalahan sebab mereka tidak memanfaatkan semua alternatif. Sedangkan, orang yang mempunyai gaya kognitif reflektif sangat berhati-hati sebelum merespon sesuatu, dia mempertimbangkan secara hati-hati dan memanfaatkan semua alternatif. Waktu yang digunakan relatif lama dalam merespon tetapi kesalahan yang dibuat relatif kecil (Rahman, 2008:461)
3) Perseptif – Reseptif
peserta didik yang perseptif dalam mengumpulkan informasi mencoba mengadakan organisasi dalam hal-hal yang diterimanya, ia menyaring informasi yang masuk dan memperhatikan hubungan-hubungan diantaranya. sedangkan peserta didik yang reseptif lebih memperhatikan detail atau perincian informasi dan tidak berusaha untuk menghubungkan informasi yang satu dengan yang lain.
4) Sistematis – intuitif
Siswa yang sistematis mencoba melihat struktur suatu masalah dan bekerja sistematis dengan data atau informasi untuk memecahkan suatu persoalan. Siswa yang intuitif langsung mengemukakan jawaban tertentu tanpa menggunakan informasi sistematis.
E.    Implementasi Gaya Belajar dan Gaya Kognitif pada Peserta Didik
1.     Implementasi Gaya Belajar
Sebelum dilaksanakan proses pembelajaran, pendidik harus mengetahui dan memahami gaya belajar dari peserta didik yang akan diajarkan. peserta didik memiliki gaya belajar yang berbeda-beda, oleh sebab itu sebagai pendidik perlu mengetahui dan memahami gaya belajar apa yang dimiliki peserta didik untuk lebih mudah memberikan pemahaman materi secara personal (Argarini, 2018).
1)   Peserta didik dengan gaya belajar auditori cenderung menyerap informasi pembelajaran melalui pendengaran, oleh karena itu, untuk memaksimalkan potensi peserta didik dengan gaya belajar ini adalah:
a.  Variasikan vokal saat memberikan penjelasan, seperti intonasi, volume suara, ataupun               kecepatannya.
b.  Menjelaskan materi secara berulang-ulang.
c.  Cariasikan penjelasan materi dengan menggunakan lagu.
d.  Saat belajar, biarkan peserta didik membaca secara nyaring

2)   Peserta didik dengan gaya belajar visual cenderung menggunakan indera pengelihatannya untuk memahami informasi pembelajaran. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan potensi peserta didik dengan gaya visual adalah:
a. Memberikan pembelajaran dengan menggunakan beragam bentuk grafis untuk                             menyampaikainformasi atau materi pelajaran.
b.  Gunakan gambar berwarna, grafik, tabel sebagai media pembelajaran.
c.  Pergunakan setiap gambar/tulisan/benda di dalam kelas sebagai sumber pembelajaran.
d.  Menggunakan warna untuk meng-highlight hal-hal penting.
e.  Ajak peserta didik untuk mengilustrasikan ide mereka pada gambar

3) Peserta didik dengan gaya belajar kinestetik cenderung menggunakan aktivitas fisik atau  gerakan untuk memahami informasi pembelajaran. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan   potensi peserta didik dengan gaya kinestetik adalah.
a.  Jangan memaksakan anak untuk belajar berjam-jam.
b.  Mengajak anak untuk belajar sambil mengeksplorasi lingkungannya.
c.   Memberikan pembelajaran dengan cara selalu berorientasi pada fisik dan banyak bergerak.
d. Belajar melalui pengalaman dengan menggunakan model atau alat peraga, belajar di laboratorium, dan bermain sambil belajar.
e.   Menguji memori ingatan dengan cara melihat langsung fakta di lapangan.
f.    Perbanyak simulasi serta role playing.

F. Implementasi Gaya Kognitif
1) Menggunakan Pendekatan Berbasis Masalah: Guru dapat menggunakan pendekatan berbasis masalah di mana peserta didik diajak untuk mencari solusi atas masalah tertentu melalui pemikiran kritis dan analisis.
2) Penerapan Pendekatan Keterampilan Berpikir: Guru dapat mengajarkan keterampilan berpikir seperti analisis, sintesis, dan evaluasi agar peserta didik dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif.
3) Penggunaan Media Interaktif: Pemanfaatan media interaktif seperti video interaktif, simulasi, atau permainan edukatif membantu peserta didik dalam mengolah informasi dengan cara yang menarik dan menantang.
4) Penggunaan Metode Diskusi dan Tanya Jawab: Diskusi dan tanya jawab melibatkan interaksi aktif antara guru dan peserta didik, yang mendorong refleksi, analisis, dan pengorganisasian informasi dalam pemahaman yang lebih mendalam.
5) Memberikan Tantangan: Memberikan tugas atau soal yang menantang dapat merangsang peserta didik untuk berpikir secara mendalam dan mencari solusi kreatif. pengorganisasian informasi dalam pemahaman yang lebih mendalam.

Gaya Belajar dan Gaya Kognitif setiap peserta didik memang berbeda, maka tantangan dan tugas seorang pendidik adalah memberikan pembelajaran yang menarik bagi peserta didik dengan variasi metode pembelajaran, dan media yang sesuai. Jika Motivasi belajar sudah terbentuk, maka dimungkinkan prestasi belajar peserta didik akan meningkat.
------------
* Penulis adalah Mahasiswa Semester 1 Jurusan PAI, FTIK IAIN Ponorogo Angkatan Tahun 2024

Kamis, 28 November 2024

PERAN GURU DALAM INOVASI PENDIDIKAN

 Oleh:  Sekar Putri Hapsari*


Inovasi Pendidikan

Pendidikan adalah pilar utama dalam pembangunan masyarakat dan bangsa. Melalui pendidikan, individu tidak hanya memperoleh pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga dibentuk menjadi pribadi yang kritis, kreatif, dan adaptif terhadap perubahan zaman. Dalam konteks global yang terus berkembang dengan cepat, pendidikan menghadapi tantangan baru yang kompleks. Perkembangan teknologi digital, perubahan sosial, tuntutan dunia kerja, serta dinamika globalisasi memunculkan kebutuhan mendesak akan pembaharuan dan inovasi dalam dunia pendidikan. Inovasi pendidikan menjadi langkah strategis untuk menjawab tantangan ini, dengan memberikan pendekatan baru yang relevan, efektif, dan mampu mengakomodasi kebutuhan beragam peserta didik.

Inovasi pendidikan mencakup berbagai aspek, mulai dari perancangan kurikulum yang adaptif, pengembangan metode pembelajaran yang interaktif, hingga pemanfaatan teknologi sebagai alat bantu yang memperkaya pengalaman belajar. Tidak hanya itu, inovasi pendidikan juga bertujuan untuk memastikan bahwa pendidikan menjadi inklusif, merata, dan mampu menjangkau semua lapisan masyarakat. Dengan demikian, inovasi dalam pendidikan tidak hanya menjadi solusi atas tantangan saat ini, tetapi juga sebagai investasi jangka panjang dalam mempersiapkan generasi yang kompeten menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian. Dalam upaya merealisasikan inovasi tersebut, peran guru menjadi sangat vital.

Guru tidak hanya bertindak sebagai penyampai pengetahuan, tetapi juga sebagai pemimpin dalam proses pembelajaran yang dinamis. Guru memiliki tanggung jawab untuk mengidentifikasi kebutuhan peserta didik, merancang strategi pembelajaran yang relevan, serta mengintegrasikan teknologi dan metode baru dalam proses pengajaran. Sebagai agen perubahan, guru dituntut untuk selalu meningkatkan kompetensi profesionalnya agar mampu mengikuti perkembangan terbaru dalam dunia pendidikan. Di samping itu, guru juga memiliki peran strategis dalam membangun hubungan yang harmonis dengan siswa, mendorong rasa ingin tahu, serta menumbuhkan semangat belajar sepanjang hayat.

Selain itu, guru juga menjadi penghubung antara kebijakan pendidikan yang dirancang di tingkat pemerintah atau institusi dengan praktik nyata di dalam kelas. Inovasi pendidikan yang baik memerlukan implementasi yang efektif, dan hal ini bergantung pada kemampuan guru dalam menerjemahkan konsep-konsep inovatif ke dalam pembelajaran sehari-hari. Dengan kata lain, keberhasilan inovasi pendidikan sangat ditentukan oleh peran aktif guru sebagai penggerak utama perubahan.

Penulis mengajak pembaca secara lebih  mendalam memahami pentingnya inovasi dalam pendidikan di tengah tantangan global yang terus berkembang. Selain itu, akan diuraikan pula peran strategis guru dalam mendukung dan mengimplementasikan inovasi pendidikan, sehingga tercipta sinergi antara pembaharuan pendidikan dan profesionalisme guru. Melalui pembahasan ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai bagaimana pendidikan yang inovatif dapat membawa dampak positif bagi pembentukan generasi masa depan yang unggul dan kompeten.

Tantangan di Era Global

Inovasi pendidikan merupakan kunci utama dalam menghadapi tantangan pendidikan di era modern yang ditandai oleh pesatnya perubahan teknologi dan sosial. Dengan memanfaatkan pendekatan baru dan teknologi canggih, inovasi pendidikan dapat menciptakan proses pembelajaran yang lebih menarik, relevan, dan sesuai dengan kebutuhan zaman.Selanjutnya apa yang dapat diberikan oleh teknologi yang semakin hebat untuk kepentingan pembelajaran/ pendidikan di sekolah. TJahjana, dkk (2021) mengemukakan gagasan pemikirannya sebagai berikut:

1)  Pengintegrasian Teknologi dalam Pembelajaran ; Pemanfaatannya dalam pendidikan menawarkan peluang yang luar biasa. Melalui pembelajaran berbasis teknologi seperti e-learning, aplikasi pendidikan, dan virtual reality, peserta didik dapat belajar dengan cara yang lebih interaktif dan mendalam (Fauzan Tasya, 2021). Penggunaan platform daring, seperti Learning Management System (LMS), juga memungkinkan personalisasi pembelajaran sehingga setiap peserta didik dapat belajar sesuai dengan kecepatan dan gaya belajarnya masing-masing.

2)   Metode Pembelajaran Berbasis Kompetensi; Inovasi dalam metode pembelajaran, seperti project-based learning dan problem-solving learning, memungkinkan peserta didik belajar melalui pengalaman nyata yang relevan dengan kehidupan mereka. Misalnya, siswa dapat diberikan proyek yang membutuhkan kerja sama tim, pemecahan masalah, dan kreativitas, sehingga mereka tidak hanya menguasai teori tetapi juga memiliki keterampilan praktis. Hal ini memperkuat koneksi antara pendidikan dengan dunia kerja dan kehidupan sehari-hari.

3)  Kurikulum yang Fleksibel dan Adaptif ; Kurikulum konvensional sering kali kaku dan sulit mengikuti perubahan zaman. Dengan inovasi, kurikulum dapat dirancang lebih fleksibel. Pendidikan tidak lagi hanya berfokus pada transfer pengetahuan, tetapi juga menanamkan keterampilan seperti berpikir kritis, kreativitas, literasi digital, dan kemampuan beradaptasi di tengah perubahan global.

4) Inklusi dan Kesetaraan Akses Pendidikan; Inovasi pendidikan juga memungkinkan terciptanya akses yang lebih merata bagi seluruh peserta didik, termasuk mereka yang tinggal di daerah terpencil atau memiliki kebutuhan khusus. Teknologi digital, seperti platform daring dan bahan ajar digital, dapat menjangkau siswa yang sebelumnya kesulitan mengakses pendidikan berkualitas.

5)  Peningkatan Motivasi dan Partisipasi Peserta Didik; Inovasi yang mengintegrasikan siswa untuk belajar. Ketika siswa merasa bahwa pembelajaran relevan, menarik, dan menyenangkan, partisipasi mereka dalam proses belajar mengajar akan meningkat secara signifikan. (Zulela & Muskenia, 2021).  Melalui pendekatan ini, inovasi pendidikan memastikan bahwa pembelajaran menjadi lebih relevan dengan kebutuhan peserta didik di era modern, sekaligus mempersiapkan mereka untuk menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.

Peran Guru

Berdasarkan penjelasan mengenai tantangan global di atas, guru juga memiliki peran yang penting. Widyaningsih (2024) memaparkan  peran guru dalam inovasi pendidikan yaitu:

(1) Fasilitator Pembelajaran Aktif ; Sebagai fasilitator, guru memotivasi siswa untuk menjadi pembelajar mandiri dan aktif dalam mengeksplorasi pengetahuan. Winarti, Hidayati dan Sulistyoningsih (2022) berpendapat bahwa di era modern, peran guru telah bergeser dari sekadar penyampai informasi menjadi fasilitator yang mendorong siswa untuk aktif belajar. Guru membantu siswa untuk mengakses, menganalisis, dan menggunakan informasi dari berbagai sumber, termasuk teknologi.

(2) Pemimpin dan Penggerak Inovasi di Kelas; Guru bertanggung jawab menciptakan lingkungan belajar yang inovatif, di mana siswa dapat belajar dengan cara yang kreatif dan kolaboratif.

(3) Pembentuk Karakter dan Budaya Inovasi; Selain mengajarkan materi akademik, guru juga berperan membangun karakter siswa yang kreatif, kritis, dan adaptif. Guru dapat menanamkan nilai-nilai seperti rasa ingin tahu, keberanian mencoba, dan semangat inovasi yang penting untuk kesuksesan di masa depan.

(4) Penghubung Kebijakan dan Praktik ; Guru menjadi jembatan antara kebijakan pendidikan yang dirancang di tingkat makro dan penerapannya dalam konteks mikro di kelas. Inovasi pendidikan yang digagas oleh pemerintah atau institusi pendidikan dapat berhasil jika guru mampu mengimplementasikannya secara efektif dalam pengajaran sehari-hari.

Guru dalam menjalankan tugas dan perannya sebagaimana disebutkan di atas, tidaklah mudah. Tantangan dan kendala pasti akan ditemui. Seperti: kurangnya pelatihan dan dukungan professional, Terbatasnya fasilitas dan infrastruktur teknologi, Beban administrasi guru yang cukup berat , resistensi terhadap perubahan yang dimiliki oleh guru dan tenaga kependidikan. Hambatan psikologis dan kepercayaan diri.  Kendala-kendala tersebut perlu diatasi oleh guru dengan berbekal kompetensi yang dimiliki, seperti kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian, dan kompetensi professional. 

Berkembangnya teknologi saat ini merupakan momentum berharga bagi guru untuk dimanfaatkan sebagai bagaian dari inovasi pendidikan. Keberhasilan inovasi pendidikan sangat bergantung pada peran aktif dan dukungan terhadap guru sebagai pelaku utama. Dengan mengatasi kendala yang ada dan menerapkan strategi yang tepat, pendidikan dapat menjadi lebih adaptif, inklusif, dan relevan dengan tuntutan zaman. Inovasi pendidikan bukan hanya sebuah pilihan, melainkan suatu keharusan untuk mempersiapkan generasi yang siap menghadapi tantangan dan peluang di masa depan.

 Daftar Pustaka

David Tjahjana dkk., Digital Education Management : Innovation, Challenges and Strategies,  2021, www.diandracreative.com.

Dewi Ambarwati dkk., “Studi Literatur: Peran Inovasi Pendidikan pada Pembelajaran Berbasis Teknologi Digital,” Jurnal Inovasi Teknologi Pendidikan 8, no. 2 (t.t.): 173–84, https://doi.org/10.21831/jitp.v8i2.43560.

Hulu Pendidikan Agama Kristen dkk., “Problematika Guru Dalam Pengembangan Teknologi dan Media Pembelajaran.”

Khalisatun Husna dkk., “Transformasi Peran Guru Di Era Digital: Tantangan Dan Peluang,” Perspektif : Jurnal Pendidikan dan Ilmu Bahasa 1, no. 4 (23 November 2023): 154–67, https://doi.org/10.59059/perspektif.v1i4.694.

Ricka Muskania dan Zulela MS, “Realita Transformasi Digital Pendidikan di Sekolah Dasar  Selama Pandemi Covid-19,” Jurnal Pendidikan Dasar Nusantara. Vol. 6, no. 2 (30 Januari 2021): 155–65, https://doi.org/10.29407/jpdn.v6i2.15298.

Sindi Septia Hasnida, Ridho Adrian, dan Nico Aditia Siagian, “Tranformasi Pendidikan Di Era  Digital,” Jurnal Bintang Pendidikan Indonesia 2, no. 1 (18 Desember 2023): 110–16, https://doi.org/10.55606/jubpi.v2i1.2488.

Sri Widiyaningsih, “Social, Humanities, and Educational Studies SHEs: Conference Series 7  (3) (2024) 1898-1904 Peran Tenaga Pendidik Dalam Pembelajaran di Era Digital,” t.t., https://jurnal.uns.ac.id/shes.

Sri Listiyoningsih, Dian Hidayati, dan Yuni Winarti, “Strategi Guru Menghadapi Transformasi Digital,” Jurnal Ilmiah Profesi Pendidikan 7, no. 2b (26 Mei 2022): 655–62, https://doi.org/10.29303/jipp.v7i2b.389.

Tasya Calvina Fauzan, “Peran Guru dalam Inovasi Pendidikan,” Seri Publikasi  Pembelajaran, vol. 1, 2021.

Yunusman Hulu Pendidikan Agama Kristen dkk., “Problematika Guru Dalam Pengembangan Teknologi dan Media Pembelajaran,” | ANTHOR: Education and Learning Journal, vol. 2, 2023.

----------------------

* Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Tadris Bahasa Indonesia IAIN Ponorogo  Angkatan 2022