OLEH: NURUL HIDAYAH*
Guru adalah fondasi utama dalam membangun masa depan bangsa. Namun, di balik peran vital mereka, problematika kesejahteraan guru di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas. Apakah sudah saatnya negara benar-benar menaruh perhatian penuh pada nasib para pendidik ini?
Pada beberapa waktu lalu terdapat kasus yang ditujukan kepada seorang guru yaitu “Supriyani”. Kasus guru honorer di Konawe selatan menggambarkan rentannya profesi guru terhadap kriminalitas dan tekanan social. Supriyani dituduh menganiaya siswa yang merupakan anak polisi, namun setelah proses hukum yang panjang, majelis hakim Pengadilan Negeri Andolo menyatakan Supriyani tidak terbukti bersalah dan membebaskannya dari semua dakwaan pada November 2024. Putusan ini sekaligus menyerukan pemulihan nama baik dan hak-hak Supriyani yang sempat tercemar akibat kasus tersebut. Meski mendapat dukungan publik dan janji pengangkatan sebagai guru PPPK jalur afirmasi, Supriyani gagal lolos seleksi PPPK pada awal, Namun akhirnya Supriyani berhasil lolos dengan menerima SK pengangkatan sebagai PPPK pada Senin, 19 Mei 2025.
Hal ini begitu miris, karena guru yang seharusnya dihormati dan dimulyakan justru terpaksa terlibat dengan kasus seperti ini. Dengan gaji guru honorer yang tidak seberapa mereka dituntut untuk dapat melaksanakan segala tugasnya dengan maksimal. Namun kenyataannya meski sudah ikhlas dengan apa yang menjadi kewajibannya, mereka masih harus menerima timbal balik buruk seperti yang ditimpa guru Supriyani tersebut.
Dampak Kesejahteraan Rendah : Pendidikan Terancam Stagnan
Meski menjadi ujung tombak pendidikan, banyak guru di Indonesia, khususnya guru honorer, masih hidup dalam ketidakpastian ekonomi. Survei IDEAS tahun 2024 menunjukkan 42,4 persen guru menerima gaji di bawah Rp 2 juta per bulan, jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di kota besar yang bisa mencapai Rp 4,5 juta
per bulan. Ironisnya, di beberapa daerah, gaji guru honorer bahkan hanya berkisar Rp 300.000 hingga Rp 500.000 per bulan. Tak heran, banyak guru terpaksa mencari pekerjaan tambahan, yang pada akhirnya menggerus fokus dan energi mereka dalam mendidik.
Hal inilah yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah, Bahwasannya Kesejahteraan yang rendah berdampak langsung pada motivasi dan kualitas pengajaran. Guru yang merasa tidak dihargai cenderung kurang termotivasi, sehingga kualitas pendidikan pun ikut terpuruk . Jika kondisi ini terus dibiarkan, sulit berharap pendidikan Indonesia mampu bersaing di tingkat global.
Pada tahun 2025, pemerintah mengumumkan peningkatan gaji serta tunjangan untuk para guru. Guru ASN akan menerima tambahan satu kali gaji pokok setiap tahun, sementara guru non-ASN akan mendapatkan tunjangan tetap sebesar Rp 2 juta per bulan. Meski begitu, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pernyataan ini menimbulkan kebingungan dan keraguan di kalangan guru. Sejumlah guru berpendapat bahwa kenaikan itu lebih merupakan penambahan tunjangan yang tidak mengindikasikan kenaikan gaji pokok secara menyeluruh, sehingga pengaruhnya terhadap kesejahteraan guru belum sepenuhnya dirasakan. Selain itu, tunjangan sebesar Rp 2 juta untuk guru honorer hanya diberikan kepada yang telah menyelesaikan sertifikasi PPG, sehingga tidak semua guru honorer merasakan manfaat tersebut. Kritik dari perkumpulan guru juga menyatakan bahwa janji ini belum sepenuhnya mengatasi isu mendasar seperti jaminan pekerjaan dan distribusi kesejahteraan yang merata.
Pemerintah harus memastikan kebijakan yang menyentuh seluruh lapisan guru, meningkatkan distribusi fasilitas, memberikan jaminan sosial yang memadai, dan memastikan bahwa kesejahteraan guru mencakup gaji, lingkungan kerja yang mendukung, akses ke pelatihan, dan penghargaan sosial. Hal ini akan memungkinkan guru untuk benar-benar berkonsentrasi pada tugas mulianya sebagai pencetak generasi penerus bangsa yang profesional.
* Penulis adalah Mahasiswi Jurusan PAI, UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
0 comments:
Posting Komentar