Oleh: Muhammad Shlahudin Al Farabi
Pendidikan
seharusnya menjadi sarana pembentukan manusia seutuhnya, bukan hanya tempat
memperoleh nilai dan ijazah. Kurikulum memiliki peran penting dalam membimbing
peserta didik agar mampu berpikir mandiri, beradaptasi dengan perkembangan
zaman, dan menjalani kehidupan secara bermakna[1].
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tujuan pendidikan nasional
adalah membentuk manusia Indonesia yang religius, berbudi pekerti luhur,
cerdas, dan mandiri[2].
Oleh karena itu, sistem pendidikan seharusnya lebih dari sekadar proses
transfer pengetahuan, melainkan wadah yang mengembangkan karakter dan
kepedulian sosial peserta didik. Sayangnya, harapan tersebut sering kali tidak
tercermin dalam pelaksanaan di lapangan.
Di
sisi lain, dinamika perubahan kurikulum di Indonesia justru menimbulkan
kebingungan dan beban baru, alih-alih perbaikan yang nyata[3].
Kurikulum Merdeka, misalnya, meskipun membawa konsep yang terdengar inovatif,
masih belum bisa diterapkan secara optimal karena keterbatasan sarana dan
kurangnya pelatihan bagi tenaga pendidik[4].
Banyak guru harus menghabiskan waktu untuk memenuhi tuntutan administratif,
sementara siswa masih berfokus pada nilai akhir ketimbang makna belajar[5].
Proses pembelajaran pun menjadi kehilangan arah. Hal ini menunjukkan bahwa
permasalahan utama pendidikan kita bukan pada kekurangan kurikulum, melainkan
pada ketiadaan arah pendidikan yang jelas dan berkelanjutan.
Selama
kurang lebih dua puluh tahun terakhir, sistem pendidikan di Indonesia telah
mengalami enam kali perubahan kurikulum, mulai dari Kurikulum 1994, Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
2006, Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat saat pandemi, hingga Kurikulum Merdeka
yang diterapkan sejak 2022. Frekuensi
perubahan ini menunjukkan bahwa pendidikan kita cenderung bergerak tanpa arah
yang pasti[6].
Padahal, dalam sistem pendidikan yang ideal, kurikulum bukan sesuatu yang bisa
diganti sewaktu-waktu, melainkan harus dibangun atas dasar visi jangka panjang
yang kuat.
Perubahan yang terlalu
sering ini mengindikasikan bahwa Indonesia belum memiliki pijakan filosofis
yang mantap dalam menentukan arah pendidikan nasional. Pergantian kurikulum
lebih banyak dipengaruhi oleh dinamika politik, pergantian kepemimpinan, atau
sekadar merespons situasi sementara, bukan dari evaluasi mendalam terhadap
tujuan pendidikan[7].
Akibatnya, para pendidik dan peserta didik sering kali menjadi korban dari
kebijakan yang belum matang. Proses belajar pun terjebak dalam transisi
terus-menerus yang melelahkan. Hal ini mempertegas bahwa inti masalah
pendidikan kita bukan semata-mata terletak pada bentuk kurikulum, tetapi pada
ketidakjelasan arah pendidikan itu sendiri.
Kemudian ada fenomena lima
tahunan yang sering kali muncul yakni, bergantinya kurikulum setiap kali
terjadi pergantian Menteri Pendidikan[8],
hal ini mencerminkan bahwa Indonesia belum memiliki arah pendidikan yang
konsisten dan berkesinambungan. Seharusnya, kurikulum dirancang berdasarkan
visi jangka panjang yang tetap relevan meski terjadi perubahan kepemimpinan.
Namun dalam kenyataannya, kurikulum justru sering berubah mengikuti kebijakan
menteri baru, seolah menjadi agenda individu bahkan ada isu kurikulum pesanan,
bukan bagian dari rencana nasional yang utuh. Hal ini menunjukkan lemahnya
komitmen pemerintah dalam menjaga kesinambungan pendidikan serta ketiadaan peta
jalan yang jelas menuju masa depan.
Lebih dari itu, isi kurikulum
yang diajarkan pun sering kali tidak selaras dengan kebutuhan nyata masyarakat.
Banyak materi yang bersifat teoritis dan normatif, namun minim relevansi dengan
tantangan kehidupan sehari-hari maupun dunia kerja[9].
Akibatnya, lulusan pendidikan formal justru kerap kesulitan beradaptasi di
lapangan. Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa perencanaan pendidikan Indonesia
belum benar-benar berpijak pada kebutuhan rakyatnya. Kurikulum berubah, tetapi
orientasinya tetap tidak jelas—tidak menjawab tantangan zaman, tidak membekali
peserta didik dengan keterampilan esensial, dan tidak mengarahkan pendidikan ke
masa depan yang nyata.
Akar persoalan pendidikan di
Indonesia bukan semata-mata terletak pada jumlah atau bentuk kurikulum,
melainkan pada absennya arah yang konsisten dan visi jangka panjang yang kokoh.
Pergantian kurikulum yang terlalu sering, tanpa dasar filosofis yang kuat,
mencerminkan betapa pendidikan kita masih terombang-ambing oleh dinamika
kebijakan jangka pendek. Namun, kondisi ini seharusnya tidak memadamkan
semangat kita untuk terus belajar dan berkarya. Justru di tengah ketidakpastian
sistem, kita ditantang untuk menjadi pribadi yang adaptif, berpikir kritis, dan
mampu memberi manfaat bagi sesama. Apapun bidang yang kita tekuni, sekecil apa
pun peran yang kita jalankan, selama dilakukan dengan niat tulus dan kepedulian
terhadap negeri ini, maka kita telah turut serta menyalakan cahaya perubahan.
Sebagaimana yang pernah
dikatakan oleh Ki Hadjar Dewantara, "Setiap orang menjadi guru, setiap
rumah menjadi sekolah." Maka, biarlah kita memulai dari diri
sendiri—dengan terus belajar, peduli, dan berbuat baik—karena masa depan
Indonesia bukan hanya ditentukan oleh sistem, melainkan oleh mereka yang tak
pernah lelah menyalakan harapan.
Daftar Pustaka:
[1] Mohamad Rifqi Hamzah et al., “Kurikulum Merdeka Belajar sebagai Wujud Pendidikan yang Memerdekakan Peserta Didik,” Arus Jurnal Pendidikan 2, no. 3 (December 11, 2022): 221–26, https://doi.org/10.57250/ajup.v2i3.112.
[2] “Implementasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Di Blitar | Jurnal Supremasi,” accessed June 21, 2025, https://ejournal.unisbablitar.ac.id/index.php/supremasi/article/view/374.
[3] M. Afiqul Adib, “Evaluasi dan Kritik terhadap Pelaksanaan Kurikulum Merdeka: Perspektif Guru, Siswa, dan Pengelola Pendidikan,” SERUMPUN : Journal of Education, Politic, and Social Humaniora 3, no. 1 (February 26, 2025): 1–18, https://doi.org/10.61590/srp.v3i1.146.
[4] Indra Gunawan and Yohanes Bahari, “Problematika Kurikulum Merdeka Dalam Sudut Pandang Teori Struktural Fungsional (Study Literatur),” Journal Of Human And Education (JAHE) 4, no. 4 (July 13, 2024): 178–87, https://doi.org/10.31004/jh.v4i4.1191.
[5] “Ketika Guru Sibuk Urus Administrasi PMM, Mas Menteri Sayangilah Guru Kita!,” Detik Aceh News (blog), accessed June 21, 2025, https://www.detikacehnews.id/2024/06/ketika-guru-sibuk-urus-administrasi-pmm.html.
[6] medcom id developer, “6 Kali Ganti Kurikulum dalam 20 Tahun, Pendidikan Indonesia Mau Dibawa Kemana?,” medcom.id, April 30, 2025, https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/Obz58MxN-6-kali-ganti-kurikulum-dalam-20-tahun-pendidikan-indonesia-mau-dibawa-kemana.
[7] Fadhilah Sabrina et al., “Persepsi Publik Terhadap Pergantian Menteri Pendidikan: Studi Survei Di Kalangan Mahasiswa Dan Tenaga Pendidik,” Dinamika Pembelajaran : Jurnal Pendidikan Dan Bahasa 2, no. 1 (2025): 107–20, https://doi.org/10.62383/dilan.v2i1.1122.
[8] Bagelen Channel, “Ganti Menteri Ganti Kurikulum? Sebuah Tantangan dan Harapan Bangsa Indonesia Untuk Pendidikan Masa Depan‣ Bagelen Channel,” January 24, 2025, https://bagelenchannel.com/2025/01/ganti-menteri-ganti-kurikulum-sebuah-tantangan-dan-harapan-bangsa-indonesia-untuk-pendidikan-masa-depan/.
[9] Eps 860 | Berita Duka : Kurikulum Pendidikan Indonesia Cuma Omon Omon, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=Yb_Z5OiF4C8.