Oleh: Dr. Hariyanto, M.Pd
Di era digital yang serba cepat dan kompleks ini, peran
guru Bimbingan dan Konseling (BK) menjadi semakin penting namun juga semakin
menantang. Perkembangan teknologi informasi yang pesat tidak hanya memengaruhi
cara siswa belajar, tetapi juga memengaruhi dinamika psikososial mereka. Dalam
konteks ini, muncul harapan baru dari siswa: sosok guru BK yang tidak hanya
tegas dalam menegakkan aturan, tetapi juga bersahabat dan empatik dalam
mendampingi mereka melewati fase-fase sulit kehidupan remaja.
Sayangnya, persepsi negatif terhadap guru BK masih cukup
kuat di kalangan siswa. Banyak yang menganggap guru BK sebagai "polisi
sekolah" yang tugasnya hanya menghukum atau mencari kesalahan. Hal ini
tidak terlepas dari pendekatan yang terlalu represif dan kurang humanis yang
masih sering dijumpai di sejumlah sekolah. Contohnya, praktik razia HP tanpa
izin atau penyitaan barang pribadi tanpa prosedur yang jelas sering kali
menimbulkan trauma dan hilangnya kepercayaan siswa.
Lebih jauh, praktik razia HP dan membuka isi percakapan
pribadi siswa tanpa izin dapat melanggar prinsip dasar hak asasi manusia,
termasuk hak atas privasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28G UUD 1945 dan
diperkuat oleh Pasal 26 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam UU ITE, data pribadi dilindungi secara
hukum, dan penyebaran maupun pengaksesan informasi pribadi tanpa izin dapat
dipidana. Oleh karena itu, guru BK harus memahami bahwa niat baik sekalipun
tidak membenarkan pelanggaran privasi siswa. Tanpa persetujuan tertulis atau
dasar hukum yang kuat, praktik seperti membuka isi chat pribadi adalah bentuk
pelanggaran hukum dan etika profesi.
Padahal, fungsi utama guru BK adalah membantu siswa
memahami diri, mengatasi masalah, dan berkembang secara optimal, baik secara
akademik, sosial, maupun emosional. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan yang lebih
adaptif dan relevan dengan zaman. Guru BK harus mampu menjembatani antara
ketegasan dalam menegakkan norma dan sikap bersahabat yang membangun hubungan
emosional yang sehat dengan siswa. Harus diingat bahwa Pelayanan bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu individu
menemukan dan mengembangkan potensi dirinya, memiliki sikap dan kebiasaan
belajar yang efektif, mengenal dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan
merencanakan pilihan karir dan kehidupannya di masa depan.Tujuan mulya
tersebut hendaknya dilakukan juga dengan cara yang tepat.
Hasil penelitian oleh Sari & Permana (2020) menunjukkan
bahwa siswa lebih terbuka dan merasa nyaman berkonsultasi apabila guru BK
menunjukkan sikap empatik, tidak menghakimi, dan bersedia mendengarkan secara
aktif. Penelitian lain oleh Hidayati (2021) juga menegaskan bahwa pendekatan
konseling yang humanistik dan non-represif meningkatkan efektivitas layanan
konseling hingga 73% dibandingkan pendekatan tradisional yang kaku dan
otoriter. Dalam praktik nyata hampir bisa dipastikan hanya sedikit sekali siswa
yang sukarela datang ke ruang BK untuk konseling, berbicara dari hati ke hati
dengan guru BK mengenai permasalahan pribadi, permasalahan yang terkait dengan
sekolah, dan pengembangan karir. Justru mereka datang karena dipanggil guru BK.
Sikap tegas bukan berarti keras atau otoriter, melainkan
konsisten dalam nilai dan aturan yang disepakati bersama. Sementara sikap
bersahabat mencerminkan empati, keterbukaan, dan kesediaan untuk mendengarkan
tanpa menghakimi. Dalam kombinasi ini, siswa akan merasa aman sekaligus
dihargai sebagai individu yang memiliki suara dan masalah yang layak didengar.
Era digital juga menuntut guru BK untuk melek teknologi.
Menggunakan media sosial, platform konseling daring, dan pendekatan digital
lainnya dapat menjadi sarana yang efektif untuk membangun kedekatan dengan
siswa. Guru BK yang memahami bahasa digital dan tantangan dunia maya yang
dihadapi siswa akan lebih relevan dan diterima.
Akhirnya, harapan siswa terhadap guru BK di era digital
sangat jelas: mereka menginginkan sosok yang bisa menjadi pendengar setia,
pembimbing bijak, dan mitra yang bisa dipercaya. Ketegasan tetap diperlukan,
tetapi harus dibalut dengan sikap humanis yang penuh empati. Dengan begitu,
ruang BK akan berubah dari tempat yang ditakuti menjadi tempat yang dicari
ketika siswa butuh pertolongan.
Transformasi ini hanya mungkin terjadi jika guru BK
bersedia merefleksikan ulang peran dan pendekatannya. Kepala sekolah juga
memiliki peran strategis dalam menciptakan budaya sekolah yang mendukung fungsi
konseling yang sehat dan efektif. Kepala sekolah harus memberikan pelatihan
berkelanjutan bagi guru BK agar dapat mengembangkan pendekatan yang lebih
empatik, berbasis data, dan sesuai etika profesi. Selain itu, penting bagi
kepala sekolah untuk membentuk kebijakan sekolah yang melindungi hak-hak siswa,
termasuk privasi digital mereka.
Kepala sekolah juga dapat memfasilitasi forum komunikasi
antara siswa dan guru BK, misalnya dalam bentuk survei kepuasan layanan BK atau
dialog terbuka untuk mendengarkan aspirasi siswa. Dengan demikian, siswa merasa
dilibatkan dan dihargai, sementara guru BK memperoleh masukan berharga untuk
memperbaiki pendekatan mereka. Langkah-langkah ini akan memperkuat citra guru
BK sebagai mitra pengembangan potensi siswa, bukan sekadar penegak disiplin. Di
antara ketegasan dan kehangatan, di situlah terletak kekuatan sejati seorang
guru BK masa kini.
Daftar Pustaka:
Hidayati, R. (2021). Efektivitas
Pendekatan Humanistik dalam Layanan Bimbingan Konseling di Sekolah Menengah.
Jurnal Konseling Pendidikan, 9(2), 112–120.
Sari, M., & Permana, A. (2020). Persepsi
Siswa terhadap Sikap Empatik Guru BK dan Dampaknya pada Keterbukaan Konseling.
Jurnal Psikologi dan Konseling, 8(1), 45–53.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28G.
---------
* Penulis adalah dosen FTIK di UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
0 comments:
Posting Komentar