f ' PENGEMBANGAN SDM PENDIDIKAN MENUJU INDONESIA EMAS 2045: MIMPI INDAH YANG TERJEBAK REALITAS ~ Inspirasi Pendidikan

Rabu, 25 Juni 2025

PENGEMBANGAN SDM PENDIDIKAN MENUJU INDONESIA EMAS 2045: MIMPI INDAH YANG TERJEBAK REALITAS

 Oleh: Muhammad Naufal Ghufroni

Gagasan tentang Indonesia Emas 2045 kerap digaungkan sebagai visi besar yang akan membawa bangsa ini menjadi salah satu kekuatan dunia. Salah satu pilar utama dari visi tersebut adalah pengembangan sumber daya manusia (SDM) di bidang pendidikan. Secara ideal, gagasan ini memang terdengar menjanjikan, tetapi jika kita melihat situasi dan kondisi nyata di lapangan, saya merasa ada ketimpangan yang cukup besar antara harapan dan realitas.

Pertama-tama, kita harus jujur bahwa selama ini pendidikan masih belum menjadi prioritas utama dalam pembangunan nasional, meskipun selalu diklaim sebagai “investasi jangka panjang”. Saya melihat bahwa pengembangan SDM pendidikan seringkali hanya menjadi topik dalam seminar, dokumen perencanaan, atau pidato kenegaraan, tetapi minim realisasi. Banyak guru di berbagai pelosok negeri masih mengajar dengan keterbatasan sarana, upah yang tidak sepadan, serta beban administratif yang menumpuk. Apakah kita benar-benar sedang mengembangkan SDM jika pelaku pendidikannya saja terus berada dalam kondisi yang penuh tekanan dan ketimpangan?

Kedua, transformasi kurikulum yang terus berganti dalam waktu singkat justru menciptakan kebingungan di kalangan guru dan siswa. Kurikulum Merdeka yang sedang digencarkan sekarang seolah menjadi solusi mujarab, padahal pelaksanaannya di sekolahsekolah masih jauh dari kata merata. Banyak guru mengeluh karena mereka harus beradaptasi dengan sistem yang baru lagi, tanpa adanya pendampingan yang memadai. Menurut saya, kebijakan seperti ini justru merusak kesinambungan pembelajaran, dan akhirnya berdampak pada kualitas SDM yang kita cita-citakan.

Selain itu, saya juga melihat bahwa pendidikan vokasi—yang katanya akan menjawab tantangan dunia kerja masa depan—masih bersifat formalitas belaka. Lulusan SMK misalnya, masih banyak yang kesulitan memperoleh pekerjaan karena kompetensi mereka tidak sinkron dengan kebutuhan industri. Di sisi lain, industri juga kerap menuntut keterampilan tinggi dengan bayaran rendah. Lalu di mana letak keadilan dalam pembangunan SDM ini?

Belum lagi jika kita bicara tentang kesenjangan antarwilayah. Saya pribadi merasa miris ketika melihat bagaimana sekolah-sekolah di kota besar sudah menggunakan teknologi mutakhir dalam pembelajaran, sementara di pelosok banyak sekolah yang bahkan belum

memiliki akses listrik yang stabil. Padahal, yang disebut “pengembangan SDM” seharusnya menyasar seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Kalau ketimpangan ini tidak segera diatasi, saya rasa visi Indonesia Emas 2045 hanyalah sebuah retorika manis yang tidak berpijak pada kenyataan.

Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap realitas bahwa orientasi pendidikan di Indonesia masih cenderung mengejar angka: nilai tinggi, akreditasi, sertifikasi, dan rangking. Sementara pembentukan karakter, kreativitas, dan kemampuan berpikir kritis siswa masih sering diabaikan. Ini membuat saya bertanya-tanya: apakah kita ingin menciptakan generasi emas atau hanya generasi penghafal yang taat sistem?

Menurut saya, jika pengembangan SDM pendidikan ingin benar-benar menjadi motor penggerak menuju Indonesia Emas, maka pendekatannya harus menyentuh akar permasalahan. Guru harus dimanusiakan, bukan dibebani. Kurikulum harus konsisten dan berorientasi pada kebutuhan nyata, bukan sekadar mengganti istilah. Pemerataan infrastruktur pendidikan harus lebih serius dan tidak lagi menjadi janji yang diulang-ulang setiap tahun anggaran.

Saya tidak menolak ide besar Indonesia Emas 2045. Namun, saya merasa perlu menyuarakan bahwa jika fondasinya saja belum kokoh, maka mustahil kita bisa membangun sesuatu yang besar. Mewujudkan generasi emas tidak bisa dilakukan dengan kebijakan yang setengah hati. Perlu keberanian untuk jujur, untuk mendengar suara mereka yang di lapangan, dan untuk menempatkan pendidikan sebagai prioritas nyata—bukan sekadar narasi pembangunan.
------------  
*Penulis adalah mahasiswa Jurusan PAI, UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

0 comments:

Posting Komentar