Oleh: Muhammad Muslih
Guru adalah pilar utama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dinyatakan bahwa guru merupakan tenaga profesional yang memiliki tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Namun, di balik peran strategis itu, kesejahteraan guru di Indonesia masih menjadi persoalan serius yang belum kunjung selesai.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, gaji rata-rata guru honorer di Indonesia berkisar antara Rp300.000 hingga Rp1.000.000 per bulan, jauh dari upah minimum regional di sebagian besar wilayah. Bahkan, menurut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, terdapat lebih dari 700 ribu guru honorer yang belum tersertifikasi hingga tahun 2024.
Selain permasalahan ekonomi, banyak guru juga menghadapi tekanan psikologis dan beban kerja yang tidak proporsional. Mereka dituntut untuk melaksanakan administrasi pembelajaran yang kompleks, mengikuti pelatihan berkelanjutan, serta menjaga kualitas pembelajaran, namun tanpa imbalan yang layak.
Kondisi ini tidak hanya menciptakan ketimpangan sosial, tapi juga meruntuhkan semangat profesionalisme. Guru—yang seharusnya menjadi teladan dan inovator—terpaksa mencari pekerjaan sampingan demi menutupi kebutuhan dasar. Dalam jangka panjang, ini bisa merusak mutu pendidikan nasional secara sistemik.
Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah program seperti tunjangan profesi guru (TPG), inpassing, dan program PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Namun, realisasi di lapangan sering kali tidak merata. Banyak guru mengeluhkan proses administrasi yang rumit, kuota terbatas, hingga ketidakjelasan status kepegawaian
bukannya memberikan solusi yang menyeluruh, kebijakan ini malah menciptakan kelas baru dalam dunia Pendidikan seperti guru ASN dan non-ASN, serta guru yang bersertifikat dan yang tidak. Sebenarnya, inti dari kesejahteraan guru seharusnya berada pada pengakuan bersama atas jasa dan sumbangsihnya, bukan pada status administratif belaka
Sebagian besar pendidikan di Indonesia, khususnya yang berada di Lokasi terpencil seperti pedesaan, guru membawa beban terlalu berat seperti masuk beberapa kelas dengan beda tingkatan dalam satu hari, guru mengampu beberapa mata Pelajaran, bahkan menjalankan tugas sebagai kepala sekolah. Namun, di sisi lain, kondisi kesejahteraan finansial mereka belum sebanding dengan beban kerja yang mereka tanggung
Terlalu sederhana jika kita berharap bahwa mutu pendidikan dapat meningkat sementara kesejahteraan para pengajar tetap diabaikan. Di setiap lingkungan kerja, kualitas hasil tidak dapat dipisahkan dari situasi kerja dan kompensasi yang diterima. Oleh karena itu, memperjuangkan upah yang layak bagi guru bukanlah sekadar tindakan dermawan, tetapi merupakan sebuah kewajiban moral dan professional.
Sudah saatnya kesejahteraan guru ditempatkan sebagai bagian dari reformasi pendidikan yang hakiki. Pendidikan bukan sekadar soal kurikulum dan teknologi, tapi tentang siapa yang menjalankannya guru. Jika guru dibiarkan terus berjuang sendiri, maka bangsa ini sedang mempertaruhkan masa depannya.
Sumber Bacaan:
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Badan.Pusat Statistik (BPS), Statistik Pendidikan 2023.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
----------------
* Penulis adalah mahasiswa Jurusan PAI UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
0 comments:
Posting Komentar