Oleh:
Nimas Da’iyatul Rokimah
Perkembangan teknologi informasi yang pesat telah mengubah hampir seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Pembelajaran di perguruan tinggi kini tidak lagi sekadar berlangsung dalam ruang kelas, melainkan bergerak secara dinamis ke arah pembelajaran digital berbasis platform daring. Namun, transformasi ini menghadirkan tantangan baru: apakah mahasiswa benar-benar siap secara literasi digital untuk menghadapi sistem pembelajaran abad 21?
Di satu sisi, generasi mahasiswa saat ini terbiasa dengan teknologi—terbiasa menggunakan gawai, media sosial, dan aplikasi digital dalam kehidupan sehari-hari. 1 Namun, terbiasa menggunakan teknologi tidak selalu berarti melek literasi digital. Banyak siswa masih kesulitan memahami etika digital, membedakan informasi akurat dari hoaks, atau bahkan memanfaatkan platform pembelajaran online dengan baik.
Menurut data yang dikumpulkan pada tahun 2023 oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), 77% orang Indonesia yang menggunakan internet berusia antara 19 dan 34 tahun.2 Namun, studi lanjutan yang dilakukan oleh Kemkominfo dan Siberkreasi (2022) menemukan bahwa hanya 39% siswa memiliki literasi digital tingkat lanjut, yang mencakup kemampuan untuk berpikir kritis saat menilai data dan keamanan digital.
Berkurangnya literasi digital siswa memengaruhi kualitas pembelajaran online. Mahasiswa seringkali hanya menjadi pengguna pasif dalam sistem pengelolaan pendidikan (LMS), tidak berpartisipasi dalam diskusi di forum, dan bahkan tidak mencari sumber
pendidikan lain selain yang diajarkan oleh guru mereka.Literasi digital yang rendah juga membuat mahasiswa mudah terjebak dalam plagiarisme, tidak memahami pentingnya sitasi dan orisinalitas karya akademik. Di sisi lain, mahasiswa yang memiliki kemampuan literasi digital tinggi cenderung lebih aktif, mandiri, dan kreatif dalam mengembangkan pemahamannya.
Salah satu kompetensi utama dalam pendidikan abad ini adalah literasi digital, menurut UNESCO. Ini bukan hanya kemampuan untuk menggunakan teknologi; itu juga mencakup aspek kognitif—memahami informasi; teknikal—menggunakan teknologi; dan etis— menghargai hak digital orang lain..3
Dalam situasi seperti ini, siswa tidak hanya harus diajarkan keterampilan teknis seperti menggunakan Zoom, Google Classroom, atau Moodle, tetapi juga harus diajarkan bagaimana menyaring data, melindungi data pribadi, dan berinteraksi dengan aman di internet.
Universitas memiliki tanggung jawab strategis untuk mempersiapkan siswa mereka untuk menghadapi tantangan pembelajaran digital. Beberapa tindakan konkret yang dapat diambil termasuk:
- Mengintegrasikan literasi digital ke dalam mata kuliah umum, seperti Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, atau Teknologi Pendidikan
- Menyelenggarakan pelatihan literasi digital secara berkala, bekerja sama dengan lembaga seperti Siberkreasi atau Google for Education.
- Mendorong dosen untuk menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis proyek digital yang menuntut mahasiswa berpikir kritis dan kreatif.
- Mengembangkan sistem asesmen yang menilai kompetensi digital mahasiswa, bukan hanya hasil akhir tugas.
Literasi digital bukan lagi keterampilan tambahan. Ini menjadi modal dasar bagi siswa untuk sukses dalam pembelajaran digital dan dunia kerja masa depan. Ini adalah investasi jangka panjang dalam mencetak generasi pembelajar yang fleksibel, kritis, dan bertanggung jawab di era teknologi yang terus berubah
https://doi.org/10.31599/jabdimas.v6i2.1714.Sivitas. “Berita Foto : KOMINFO Rilis Status Literasi Digital Indonesia Tahun 2022.” Berita Komdigi, 2023. https://www.komdigi.go.id/berita/pengumuman/detail/berita-fotokominfo-rilis-status-literasi- digital-indonesia-tahun-2022
------
* Penulis adalah mahasiswi Jurusan PAI, Universitas Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
0 comments:
Posting Komentar