
Afrilia Eka Prasetyawati, M.Pd *
Sahabat inspirasi pendidikan, Sebuah karya sastra sering digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan indah, namun efektif. meskipun demikian terkadang kita harus menyelami pikiran dan pesan dari penulisnya. Kali ini saya akan menyingkap tabir pesan dalam puisi yang ditulis oleh penyair yang masih belia, yaitu Shakayla Adzkiya El Queena Harfianto. Judul puisi yang ditulisnya adalah Ratapan Doa Semesta. Agar lebih bisa memahami secara utuh berikut saya sertakan puisi yang ditulisnya.
RATAPAN DOA SEMESTA KARYA : SHAKAYLA ADZKIYA EL QUEENA
HARFIANTO
Langit
tak lagi biru, temaram bersyahadat menyebut asmaMUDiantara
kilatan cahaya petir dan kabut gelap Gunung
dalam diam bertafakkur bersujud dibawah kabut Menyimpan
tasbih pada batu-batu yang dicongkel keserakahan Air
setia mengalirkan do’a yang tak pernah didengar anak manusia Jerit
burung melafalkan takbir di kala fajar, dianggapnya nyanyian belaka
Manusia…
manusia…Selalim
itukah engkau, hingga tega mencabik-cabik semesta Menanam
bumi dengan pasak-pasak besi Mencincang
isi perutnya demi tambang Selalim
itukah engkau, hingga tega menodai semesta Meracuni
angkasa dengan asap-asap berlaksa Kerakusan
demi kerakusan terbungkus diksi pembangunan
Sungai
berdoa dalam keruhnya.” Ya, Rabb, aku dulu jernih membawa kehidupan, kini
aku penuh dengan bangkai kesombongan.” Namun
manusia menutup telinga dari doa air
yang luka. Pohon-pohon
merenung dalam dzikir panjangnyaDaun-daunnya
luruh seperti tasbih yang putus dibabat nafsu Bumi,
menahan rintih seraya berdoa “Kuatkan aku ya Allah” Meski
rahimnya gersang terpanggang
Ya
Allah, yang Maha Lembut
Engkau
masih menulis kasih diantara kehancuran alam Setiap
petir yang kau kirim adalah peringatan-Mu Setiap
longsor adalah teguran lembut dari –Mu Setiap
bumi berguncang adalah bentuk sapaan-Mu Tapi
kami tak mampu membaca titahMu
Ya
Allah, Ya Ghaffar izinkan hamba bersujud di atas tanah yang kami lukai Dengan
air mata sebagai hujan penebus Untuk
menumbuhkan rasa dan logikabahwa
setiap daun, setiap angin, setiap badaiadalah
ayat ayat kauniyah yang kami dustakan sekian lamaSungguh
semesta ini adalah kitab-Mu yang terbuka.Ajarilah
kami kembali mendengar tasbih semestaYang
menuntun kami menuju jalan pulang.
Ponorogo,
22 Oktober 2025
Sekarang mari kita dalami isi puisi tersebut melalui artikel ini. Artikel ini akan mengulas puisi tersebut, tidak hanya sebagai karya seni, tetapi sebagai sebuah dokumen empirik yang merekam jejak spiritualitas dalam krisis lingkungan.
Di tengah
hiruk-pikuk diskursus tentang krisis iklim yang seringkali terjebak dalam data statistik dan jargon teknis, muncul sebuah suara liris yang mengingatkan kita
pada akar spiritual dari bencana ekologis. Suara itu hadir dalam puisi
"Ratapan Doa Semesta", karya Shakayla Adzkiya El Queena Harfianto.
Jauh dari sekadar keluhan, puisi ini adalah sebuah teofani, sebuah penyingkapan
kesakralan alam yang dicederai, sekaligus sebuah kritik tajam terhadap
antroposentrisme yang dibungkus dalam "diksi pembangunan".
Antara Tasbih dan Eksploitasi: Diksi
sebagai Medan Laga
Kekuatan analitis (kajian empirik)
utama dari puisi ini terletak pada penggunaan diksi yang sangat kontras.
Shakayla secara brilian mempertentangkan dua leksikon (kosakata) yang saling
bertarung: leksikon spiritualitas alam dan leksikon kekerasan industrial. Di
satu sisi, semesta digambarkan dalam aktivitas ibadah yang khusyuk. Kita
menemukan kata-kata seperti: bersyahadat, bertafakkur, bersujud, tasbih, takbir,
dan dzikir panjang. Langit, gunung, air, dan burung bukan sekadar objek,
melainkan subjek yang aktif memuji Sang Pencipta. Di sisi lain, hadir leksikon
brutal yang mewakili tindakan manusia: dicongkel keserakahan, mencabik-cabik, menanam...
pasak-pasak besi, mencincang isi perutnya, meracuni, dan dibabat nafsu.
Pertarungan
empirik dalam puisi ini terjadi ketika aktivitas sakral alam dilanggar oleh
aktivitas profan manusia. Gunung dalam diam bertafakkur sementara batu-batu
(tempatnya bertasbih) dicongkel keserakahan. Jerit burung melafalkan takbir
namun dianggapnya nyanyian belaka. Ini adalah kritik pedas: manusia tidak hanya
merusak alam, tetapi telah tuli secara spiritual, gagal membedakan antara
takbir dan nyanyian.
Pembangunan
sebagai Eufemisme Kerakusan
Puisi ini mencapai puncak kritik
sosialnya dalam satu baris yang menohok: Kerakusan demi kerakusan terbungkus
diksi pembangunan.
Ini adalah
pengamatan empirik yang tajam. Sang penyair remaja ini mampu mengidentifikasi bahwa kata
"pembangunan" seringkali berfungsi sebagai eufemisme, penghalusan
bahasa, untuk menutupi motif sebenarnya, yaitu kerakusan dan eksploitasi.
"Mencincang isi perutnya demi tambang" secara politis sering disebut
sebagai "pembukaan lapangan kerja" atau "peningkatan pendapatan
daerah".
Shakayla,
melalui puisinya, menelanjangi eufemisme ini. Ia menunjukkan bahwa di balik
retorika kemajuan, ada bangkai kesombongan yang mengotori sungai dan daun-daun
luruh seperti tasbih yang putus.
Alam
sebagai Kitab yang Terbuka
Analisis puisi ini tidak lengkap
tanpa memahami kerangka teologis yang diusungnya. Krisis yang digambarkan
bukanlah sekadar krisis ekologi, melainkan krisis teologi. Bencana alam yang
terjadin seperti petir, longsor, bumi berguncang, secara eksplisit ditafsirkan
bukan sebagai fenomena acak, melainkan sebagai "pesan" dari Tuhan.
Puisi ini
menyebutnya: peringatan-Mu, teguran lembut dari-Mu, dan bentuk sapaan-Mu.
Masalahnya, manusia telah kehilangan
kemampuan hermeneutiknya. Kita gagal menafsirkan pesan tersebut. Tapi
kami tak mampu membaca titahMu. Kegagalan membaca inilah yang menjadi
dosa terbesar. Penyair menegaskan ini di akhir puisi. Alam semesta
diidentifikasi sebagai ayat-ayat kauniyah (ayat-ayat alam) dan kitab-Mu
yang terbuka. Kita telah mendustakan ayat-ayat tersebut begitu lama
sehingga kita lupa cara membacanya. Kerusakan lingkungan, dalam optik puisi
ini, adalah bukti kebutaan kita dalam membaca "Kitab Semesta".
Kesimpulan: Doa untuk Menumbuhkan Rasa dan Logika
"Ratapan
Doa Semesta" adalah sebuah karya yang matang. Ia berhasil melampaui
sekadar puisi protes lingkungan. Ini adalah sebuah elegi, sebuah kritik sosial,
dan sebuah doa pertobatan yang mendalam. Puisi ini tidak berhenti pada
kemarahan, tetapi bergerak menuju resolusi spiritual. Solusi yang ditawarkan
bukanlah solusi teknokratis, melainkan solusi batiniah: izinkan hamba
bersujud di atas tanah yang kami lukai, Dengan air mata sebagai hujan penebus.
Tujuannya?
Untuk menumbuhkan rasa dan logika. Sebuah penutup yang indah. Shakayla tidak
menolak logika (yang sering diidentikkan dengan "pembangunan"),
tetapi ia ingin logika itu ditumbuhkan kembali di atas tanah pertobatan,
disirami oleh "rasa" (empati dan spiritualitas).
Pada
akhirnya, puisi ini adalah panggilan untuk "pulang". sebuah ajakan
untuk kembali belajar mendengar tasbih semesta sebagai penuntun jalan kita.
Sebuah karya yang kuat, relevan, dan sangat dibutuhkan di zaman ini. Shakayla,
sang penyair muda ini mampu membingkainya dala karya yang indah namun syarat
makna yang mendalam.
----------------------------
* Penulis adalah pemerhati bidang
sastra
Engkau masih menulis kasih diantara kehancuran alam
Pertarungan
empirik dalam puisi ini terjadi ketika aktivitas sakral alam dilanggar oleh
aktivitas profan manusia. Gunung dalam diam bertafakkur sementara batu-batu
(tempatnya bertasbih) dicongkel keserakahan. Jerit burung melafalkan takbir
namun dianggapnya nyanyian belaka. Ini adalah kritik pedas: manusia tidak hanya
merusak alam, tetapi telah tuli secara spiritual, gagal membedakan antara
takbir dan nyanyian.
Pembangunan
sebagai Eufemisme Kerakusan
Ini adalah
pengamatan empirik yang tajam. Sang penyair remaja ini mampu mengidentifikasi bahwa kata
"pembangunan" seringkali berfungsi sebagai eufemisme, penghalusan
bahasa, untuk menutupi motif sebenarnya, yaitu kerakusan dan eksploitasi.
"Mencincang isi perutnya demi tambang" secara politis sering disebut
sebagai "pembukaan lapangan kerja" atau "peningkatan pendapatan
daerah".
Shakayla,
melalui puisinya, menelanjangi eufemisme ini. Ia menunjukkan bahwa di balik
retorika kemajuan, ada bangkai kesombongan yang mengotori sungai dan daun-daun
luruh seperti tasbih yang putus.
Alam
sebagai Kitab yang Terbuka
Puisi ini
menyebutnya: peringatan-Mu, teguran lembut dari-Mu, dan bentuk sapaan-Mu.
Masalahnya, manusia telah kehilangan
kemampuan hermeneutiknya. Kita gagal menafsirkan pesan tersebut. Tapi
kami tak mampu membaca titahMu. Kegagalan membaca inilah yang menjadi
dosa terbesar. Penyair menegaskan ini di akhir puisi. Alam semesta
diidentifikasi sebagai ayat-ayat kauniyah (ayat-ayat alam) dan kitab-Mu
yang terbuka. Kita telah mendustakan ayat-ayat tersebut begitu lama
sehingga kita lupa cara membacanya. Kerusakan lingkungan, dalam optik puisi
ini, adalah bukti kebutaan kita dalam membaca "Kitab Semesta".
Tujuannya?
Untuk menumbuhkan rasa dan logika. Sebuah penutup yang indah. Shakayla tidak
menolak logika (yang sering diidentikkan dengan "pembangunan"),
tetapi ia ingin logika itu ditumbuhkan kembali di atas tanah pertobatan,
disirami oleh "rasa" (empati dan spiritualitas).
Pada
akhirnya, puisi ini adalah panggilan untuk "pulang". sebuah ajakan
untuk kembali belajar mendengar tasbih semesta sebagai penuntun jalan kita.
Sebuah karya yang kuat, relevan, dan sangat dibutuhkan di zaman ini. Shakayla,
sang penyair muda ini mampu membingkainya dala karya yang indah namun syarat
makna yang mendalam.
* Penulis adalah pemerhati bidang sastra







0 comments:
Posting Komentar