f ' MENDENGAR TASBIH SEMESTA YANG TERLUKA: SEBUAH KAJIAN KRITIS ATAS PUISI "RATAPAN DOA SEMESTA" KARYA: SHAKAYLA ADZKIYA EL QUEENA ~ Inspirasi Pendidikan

Kamis, 13 November 2025

MENDENGAR TASBIH SEMESTA YANG TERLUKA: SEBUAH KAJIAN KRITIS ATAS PUISI "RATAPAN DOA SEMESTA" KARYA: SHAKAYLA ADZKIYA EL QUEENA

 

Afrilia Eka Prasetyawati, M.Pd *
Sahabat inspirasi pendidikan, Sebuah karya sastra sering digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan indah, namun efektif. meskipun demikian terkadang kita harus menyelami pikiran dan pesan dari penulisnya. Kali ini saya akan menyingkap tabir pesan dalam puisi yang ditulis oleh penyair yang masih belia, yaitu Shakayla Adzkiya El Queena Harfianto. Judul puisi yang ditulisnya adalah Ratapan Doa Semesta. Agar lebih bisa memahami secara  utuh berikut saya sertakan puisi yang ditulisnya.

RATAPAN DOA SEMESTA 
KARYA : SHAKAYLA ADZKIYA EL QUEENA HARFIANTO

Langit tak lagi biru, temaram bersyahadat menyebut asmaMU
Diantara kilatan cahaya petir dan kabut gelap 
Gunung dalam diam bertafakkur bersujud dibawah kabut 
Menyimpan tasbih pada batu-batu yang dicongkel keserakahan 
Air setia mengalirkan do’a yang tak pernah didengar anak manusia 
Jerit burung melafalkan takbir di kala fajar, dianggapnya nyanyian belaka

Manusia… manusia…
Selalim itukah engkau, hingga tega mencabik-cabik semesta 
Menanam bumi dengan pasak-pasak besi 
Mencincang isi perutnya demi tambang 
Selalim itukah engkau, hingga tega menodai semesta 
Meracuni angkasa dengan asap-asap  berlaksa 
Kerakusan demi kerakusan terbungkus diksi pembangunan

Sungai berdoa dalam keruhnya.
” Ya, Rabb, aku dulu jernih membawa kehidupan, kini aku penuh dengan bangkai kesombongan.” 
Namun manusia  menutup telinga dari doa air yang luka. 
Pohon-pohon merenung dalam dzikir panjangnya
Daun-daunnya luruh seperti tasbih yang putus dibabat nafsu 
Bumi, menahan rintih seraya berdoa “Kuatkan aku ya Allah” 
Meski rahimnya gersang  terpanggang

Ya Allah, yang Maha Lembut 
Engkau masih menulis kasih diantara kehancuran alam 
Setiap petir yang kau kirim adalah peringatan-Mu 
Setiap longsor adalah teguran lembut dari –Mu 
Setiap bumi berguncang adalah bentuk sapaan-Mu 
Tapi kami  tak mampu membaca titahMu 

Ya Allah, Ya Ghaffar izinkan hamba bersujud di atas tanah yang kami lukai 
Dengan air mata sebagai hujan penebus 
Untuk menumbuhkan rasa dan logika
bahwa setiap daun, setiap angin, setiap badai
adalah ayat ayat kauniyah yang kami dustakan sekian lama
Sungguh semesta ini adalah kitab-Mu yang terbuka.
Ajarilah kami kembali mendengar tasbih semesta
Yang menuntun kami menuju  jalan pulang.
                                                                                     Ponorogo, 22 Oktober  2025

Sekarang mari kita dalami isi puisi tersebut melalui artikel ini. Artikel ini akan mengulas puisi tersebut, tidak hanya sebagai karya seni, tetapi sebagai sebuah dokumen empirik yang merekam jejak spiritualitas dalam krisis lingkungan.

Di tengah hiruk-pikuk diskursus tentang krisis iklim yang seringkali terjebak dalam data statistik dan jargon teknis, muncul sebuah suara liris yang mengingatkan kita pada akar spiritual dari bencana ekologis. Suara itu hadir dalam puisi "Ratapan Doa Semesta", karya Shakayla Adzkiya El Queena Harfianto. Jauh dari sekadar keluhan, puisi ini adalah sebuah teofani, sebuah penyingkapan kesakralan alam yang dicederai, sekaligus sebuah kritik tajam terhadap antroposentrisme yang dibungkus dalam "diksi pembangunan".

Antara Tasbih dan Eksploitasi: Diksi sebagai Medan Laga
Kekuatan analitis (kajian empirik) utama dari puisi ini terletak pada penggunaan diksi yang sangat kontras. Shakayla secara brilian mempertentangkan dua leksikon (kosakata) yang saling bertarung: leksikon spiritualitas alam dan leksikon kekerasan industrial. Di satu sisi, semesta digambarkan dalam aktivitas ibadah yang khusyuk. Kita menemukan kata-kata seperti: bersyahadat, bertafakkur, bersujud, tasbih, takbir, dan dzikir panjang. Langit, gunung, air, dan burung bukan sekadar objek, melainkan subjek yang aktif memuji Sang Pencipta. Di sisi lain, hadir leksikon brutal yang mewakili tindakan manusia: dicongkel keserakahan, mencabik-cabik, menanam... pasak-pasak besi, mencincang isi perutnya, meracuni, dan dibabat nafsu.

Pertarungan empirik dalam puisi ini terjadi ketika aktivitas sakral alam dilanggar oleh aktivitas profan manusia. Gunung dalam diam bertafakkur sementara batu-batu (tempatnya bertasbih) dicongkel keserakahan. Jerit burung melafalkan takbir namun dianggapnya nyanyian belaka. Ini adalah kritik pedas: manusia tidak hanya merusak alam, tetapi telah tuli secara spiritual, gagal membedakan antara takbir dan nyanyian.

Pembangunan sebagai Eufemisme Kerakusan

Puisi ini mencapai puncak kritik sosialnya dalam satu baris yang menohok: Kerakusan demi kerakusan terbungkus diksi pembangunan.

Ini adalah pengamatan empirik yang tajam. Sang penyair remaja  ini mampu mengidentifikasi bahwa kata "pembangunan" seringkali berfungsi sebagai eufemisme, penghalusan bahasa, untuk menutupi motif sebenarnya, yaitu kerakusan dan eksploitasi. "Mencincang isi perutnya demi tambang" secara politis sering disebut sebagai "pembukaan lapangan kerja" atau "peningkatan pendapatan daerah".

Shakayla, melalui puisinya, menelanjangi eufemisme ini. Ia menunjukkan bahwa di balik retorika kemajuan, ada bangkai kesombongan yang mengotori sungai dan daun-daun luruh seperti tasbih yang putus.

Alam sebagai Kitab yang Terbuka

Analisis puisi ini tidak lengkap tanpa memahami kerangka teologis yang diusungnya. Krisis yang digambarkan bukanlah sekadar krisis ekologi, melainkan krisis teologi. Bencana alam yang terjadin seperti petir, longsor, bumi berguncang, secara eksplisit ditafsirkan bukan sebagai fenomena acak, melainkan sebagai "pesan" dari Tuhan.

Puisi ini menyebutnya: peringatan-Mu, teguran lembut dari-Mu, dan bentuk sapaan-Mu.

Masalahnya, manusia telah kehilangan kemampuan hermeneutiknya. Kita gagal menafsirkan pesan tersebut. Tapi kami tak mampu membaca titahMu. Kegagalan membaca inilah yang menjadi dosa terbesar. Penyair menegaskan ini di akhir puisi. Alam semesta diidentifikasi sebagai ayat-ayat kauniyah (ayat-ayat alam) dan kitab-Mu yang terbuka. Kita telah mendustakan ayat-ayat tersebut begitu lama sehingga kita lupa cara membacanya. Kerusakan lingkungan, dalam optik puisi ini, adalah bukti kebutaan kita dalam membaca "Kitab Semesta".


Kesimpulan: Doa untuk Menumbuhkan Rasa dan Logika
"Ratapan Doa Semesta" adalah sebuah karya yang matang. Ia berhasil melampaui sekadar puisi protes lingkungan. Ini adalah sebuah elegi, sebuah kritik sosial, dan sebuah doa pertobatan yang mendalam. Puisi ini tidak berhenti pada kemarahan, tetapi bergerak menuju resolusi spiritual. Solusi yang ditawarkan bukanlah solusi teknokratis, melainkan solusi batiniah: izinkan hamba bersujud di atas tanah yang kami lukai,  Dengan air mata sebagai hujan penebus.

Tujuannya? Untuk menumbuhkan rasa dan logika. Sebuah penutup yang indah. Shakayla tidak menolak logika (yang sering diidentikkan dengan "pembangunan"), tetapi ia ingin logika itu ditumbuhkan kembali di atas tanah pertobatan, disirami oleh "rasa" (empati dan spiritualitas).

Pada akhirnya, puisi ini adalah panggilan untuk "pulang". sebuah ajakan untuk kembali belajar mendengar tasbih semesta sebagai penuntun jalan kita. Sebuah karya yang kuat, relevan, dan sangat dibutuhkan di zaman ini. Shakayla, sang penyair muda ini mampu membingkainya dala karya yang indah namun syarat makna yang mendalam.

----------------------------
*
Penulis adalah pemerhati bidang sastra

0 comments:

Posting Komentar