f ' Inspirasi Pendidikan

Inspirasi Pendidikan untuk Indonesia

Pendidikan bukan cuma pergi ke sekolah dan mendapatkan gelar. Tapi, juga soal memperluas pengetahuan dan menyerap ilmu kehidupan.

Bersama Bergerak dan Menggerakkan pendidikan

Kurang cerdas bisa diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki (Bung Hatta)

Berbagi informasi dan Inspirasi

Tinggikan dirimu, tapi tetapkan rendahkan hatimu. Karena rendah diri hanya dimiliki orang yang tidak percaya diri.

Mari berbagi informasi dan Inspirasi

Hanya orang yang tepat yang bisa menilai seberapa tepat kamu berada di suatu tempat.

Mari Berbagi informasi dan menginspirasi untuk negeri

Puncak tertinggi dari segala usaha yang dilakukan adalah kepasrahan.

Selasa, 30 September 2025

RAJA HUTAN YANG BIJAKSANA

 

Oleh: Shamita Maulida EL Queena Harfianto*

Di sebuah hutan yang rimbun dan penuh kehidupan, hiduplah berbagai macam hewan. Hutan itu dipimpin oleh seekor singa bernama Leo, yang dikenal sebagai raja hutan. Leo adalah singa yang kuat dan berani, tetapi ia juga memiliki hati yang baik. Ia selalu berusaha untuk menjaga kedamaian dan keharmonisan di antara semua penghuni hutan.

Suatu hari, saat matahari terbenam, Leo mengumpulkan semua hewan di padang terbuka untuk mengumumkan sesuatu yang penting. Semua hewan berkumpul, mulai dari tupai yang lincah hingga gajah yang besar. Mereka semua penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh raja mereka.

“Saudaraku, aku mengumpulkan kalian di sini untuk membahas sesuatu yang sangat penting,” kata Leo dengan suara yang dalam dan tegas.

“Kita semua tahu bahwa hutan ini adalah rumah kita, dan kita harus menjaga keharmonisannya. Namun, aku merasa bahwa kita perlu lebih banyak bekerja sama untuk menghadapi tantangan yang mungkin datang.”

Semua hewan mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa hutan bisa menjadi tempat yang berbahaya, terutama ketika musim kemarau tiba dan makanan mulai menipis. Leo melanjutkan, “Aku ingin kita membentuk sebuah Dewan Hutan, di mana setiap hewan dapat mengirimkan perwakilan untuk berbicara dan memberikan pendapat. Dengan cara ini, kita bisa saling mendukung dan menemukan solusi untuk masalah yang kita hadapi.”

Saran Leo disambut baik oleh semua hewan. Mereka setuju untuk memilih perwakilan dari setiap spesies. Setelah beberapa hari, Dewan Hutan pun terbentuk. Perwakilan dari berbagai hewan berkumpul di bawah pohon besar yang menjadi tempat pertemuan mereka. Ada Kiki si Kelinci, yang dikenal karena kecerdasannya; Gino si Gajah, yang bijaksana dan kuat; dan Titi si Burung Hantu, yang selalu memiliki pandangan yang tajam.

Pertemuan pertama Dewan Hutan dimulai dengan semangat. Kiki mengusulkan agar mereka membuat rencana untuk mengumpulkan makanan sebelum musim kemarau tiba.

“Kita harus bekerja sama untuk mengumpulkan makanan sebanyak mungkin, agar semua hewan bisa bertahan hidup,” ujar Kiki.

Gino menambahkan, “Kita juga perlu membuat tempat persembunyian untuk melindungi makanan kita dari hewan-hewan lain yang mungkin ingin mencurinya.”

Titi, yang selalu berpikir jauh ke depan, berkata, “Kita harus memastikan bahwa semua hewan, besar atau kecil, memiliki akses ke makanan. Kita tidak boleh membiarkan siapa pun kelaparan.”

Semua hewan setuju dengan ide-ide tersebut, dan mereka mulai merencanakan langkah-langkah yang perlu diambil. Mereka membagi tugas, dan setiap hewan berkomitmen untuk melakukan bagian mereka. Kiki dan teman-temannya mulai mengumpulkan buah-buahan dan sayuran, sementara Gino membantu mengangkut makanan yang lebih berat. Titi terbang tinggi untuk mencari tahu di mana makanan melimpah.

Namun, tidak semua hewan setuju dengan rencana ini. Di sisi lain hutan, ada seekor serigala bernama Riko yang merasa terancam dengan kerjasama ini. Riko adalah hewan yang egois dan selalu berpikir hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Ia merasa bahwa jika hewan-hewan lain bekerja sama, ia tidak akan bisa mendapatkan makanan dengan mudah.

Riko pun merencanakan sesuatu. Ia mengumpulkan beberapa hewan lain yang juga merasa tidak senang dengan Dewan Hutan dan mengajak mereka untuk bergabung.

“Mengapa kita harus mendengarkan singa dan hewan-hewan lain? Kita bisa mengambil makanan mereka tanpa harus berbagi,” katanya dengan suara menggoda.

Beberapa hewan, seperti rubah dan tikus, terpengaruh oleh kata-kata Riko dan setuju untuk membantunya. Mereka mulai merencanakan untuk mencuri makanan yang telah dikumpulkan oleh hewan-hewan lain.

Sementara itu, di sisi lain hutan, Dewan Hutan terus bekerja keras. Mereka berhasil mengumpulkan banyak makanan dan menyimpannya di tempat yang aman. Leo merasa bangga dengan kerja sama yang ditunjukkan oleh semua hewan. Namun, ia juga merasa khawatir tentang Riko dan rencananya.

Suatu malam, saat semua hewan sedang tidur, Riko dan kelompoknya melancarkan aksinya. Mereka menyusup ke tempat penyimpanan makanan dan mulai mencuri makanan yang telah dikumpulkan. Namun, Kiki si Kelinci yang sedang berjaga melihat mereka dan segera memberi tahu Leo.

Leo segera memanggil semua hewan untuk berkumpul.

“Kita harus menghentikan Riko dan kelompoknya sebelum mereka mengambil semua makanan kita!” serunya.

Semua hewan bersiap untuk menghadapi situasi ini.

Ketika Riko dan kelompoknya sedang mengangkut makanan, mereka terkejut melihat Leo dan semua hewan lainnya mendatangi mereka.

“Berhenti! Apa yang kalian lakukan?” teriak Leo dengan suara menggelegar.

Riko, yang tidak mau mengakui kesalahannya, menjawab,

“Kami hanya mengambil apa yang seharusnya menjadi milik kami. Kami tidak butuh Dewan Hutan untuk memberi tahu kami apa yang harus dilakukan!”

Leo menatap Riko dengan tegas.

“Kau tidak bisa mengambil makanan orang lain tanpa izin. Hutan ini adalah rumah kita semua, dan kita harus saling menghormati dan bekerja sama.”

Kiki, yang merasa berani, melangkah maju.

“Kami telah bekerja keras untuk mengumpulkan makanan ini. Jika kau membutuhkan makanan, kami bisa membantumu, tetapi bukan dengan cara mencuri!”

Riko merasa terpojok. Ia tidak menyangka bahwa hewan-hewan lain akan bersatu melawan tindakan egoisnya.

“Aku tidak butuh bantuan dari kalian!” teriaknya, tetapi suaranya mulai terdengar lemah.

Gino, dengan suara lembut namun tegas, berkata, “Kami semua adalah bagian dari hutan ini. Jika kita tidak saling mendukung, kita semua akan menderita. Mari kita bicarakan ini dengan baik.”

Akhirnya, Riko menyadari bahwa ia tidak bisa melawan semua hewan yang bersatu. Ia merasa malu dan bingung. Leo melihat kesempatan untuk mengubah keadaan.

“Riko, jika kau mau, kami bisa membantumu. Bergabunglah dengan kami di Dewan Hutan, dan kita bisa mencari solusi bersama.”

Riko terdiam sejenak. Ia tidak pernah berpikir untuk bergabung dengan mereka. Namun, melihat betapa kuatnya persahabatan dan kerjasama di antara hewan-hewan lain, ia merasa tergerak. “Baiklah, aku akan mencoba,” jawabnya pelan.

Sejak saat itu, Riko mulai belajar tentang arti kepemimpinan dan pertemanan. Ia menyaksikan bagaimana semua hewan bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik. Ia mulai berpartisipasi dalam Dewan Hutan dan memberikan ide-ide yang bermanfaat.

Dengan waktu, Riko berubah menjadi hewan yang lebih baik. Ia tidak lagi merasa perlu untuk mencuri, karena ia tahu bahwa dengan bekerja sama, semua hewan bisa mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Persahabatan yang terjalin di antara mereka semakin kuat, dan hutan pun menjadi tempat yang lebih harmonis.

Leo, sebagai raja hutan, merasa bangga dengan perubahan yang terjadi. Ia menyadari bahwa kepemimpinan bukan hanya tentang kekuatan, tetapi juga tentang mendengarkan, memahami, dan membangun hubungan yang baik dengan semua penghuni hutan.

Dewan Hutan terus berfungsi dengan baik, dan semua hewan belajar untuk saling menghormati dan mendukung satu sama lain. Mereka mengadakan pertemuan rutin untuk membahas masalah yang dihadapi dan merayakan keberhasilan bersama. Hutan itu menjadi contoh bagi hutan-hutan lain tentang bagaimana kepemimpinan yang bijaksana dan persahabatan yang tulus dapat mengatasi segala rintangan.

Cerita ini mengajarkan kita bahwa kepemimpinan yang baik tidak hanya berasal dari kekuatan, tetapi juga dari kemampuan untuk mendengarkan dan bekerja sama. Persahabatan yang tulus dapat mengubah sikap dan membantu kita mengatasi tantangan yang ada. Dengan saling mendukung, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih baik untuk semua.

 * Penulis adalah Siswi kelas 5 SDIT Qurrota A'yun Ponorogo

Minggu, 21 September 2025

MERUBAH “CITRA NEGATIF” BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH

 

Penulis: Dr. Hariyanto, M.Pd*

Persepsi negative terhadap fungsi Bimbingan Konseling di sekolah masih saja melekat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peserta didik menganggap siswa yang berada di ruangan BK adalah mereka yang sedang bermasalah, terutama yang terkait dengan kedisiplnan atau pelanggaran terhadap peraturan dan tata tertib yang berlaku di sekolah. Dengan kata lain tempat yang paling tak dikenal dan dijauhi oleh siswa di sekolah adalah ruang kantor BK. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa hal ini bisa terjadi? Bagaimana peran guru Bimbingan Konseling dapat dikembalikan sebagaimana mestinya? Bagaimana inovasi dan kreatifitas yang bisa dilakukan untuk memberikan pelayanan yang paripurna untuk para peserta didik?.

Persepsi siswa terhadap ruang bimbingan konseling merupakan faktor penting yang mempengaruhi efektivitas layanan yang diberikan. Banyak siswa menganggap ruang ini sebagai tempat yang jarang mereka kunjungi atau bahkan tidak familiar secara langsung, sehingga menimbulkan persepsi bahwa ruang tersebut bukanlah tempat yang nyaman atau relevan dengan kebutuhan mereka. Dalam beberapa kasus, persepsi negatif ini juga disebabkan oleh pengalaman sebelumnya yang kurang memuaskan, atau bahkan rasa malu dan takut akan stigma dari teman sebaya. Banyak pihak masih menganggap bahwa layanan ini hanya untuk menangani siswa dengan masalah berat, sehingga membawa stigma bahwa siswa yang mengikuti layanan tersebut adalah bermasalah atau tidak mampu mengatasi permasalahan sendiri.

Hal-hal tersebut dapat disebabkan oleh minimnya sosialisasi dan promosi dari pihak sekolah tentang fungsi dan manfaat ruang bimbingan konseling. Siswa cenderung memandang ruang ini sebagai area yang berisi Guru BK yang hanya berurusan dengan masalah serius atau krisis, sehingga mereka merasa enggan berpartisipasi. Kurangnya visualisasi dan komunikasi yang efektif tentang keberadaan dan layanan yang tersedia di ruang bimbingan konseling membuat siswa menganggapnya sebagai tempat yang menakutkan atau asing.

Oleh karena itu, langkah pertama adalah meningkatkan komunikasi yang efektif antara Guru BK, siswa, serta stakeholder terkait agar pesan positif dapat tersampaikan dengan jelas dan tidak menimbulkan salah pengertian. Penggunaan media sosial, poster, dan forum diskusi dapat menjadi alat yang efektif untuk menyampaikan keberhasilan dan manfaat layanan tersebut. Selain itu, pelibatan aktif siswa dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan bimbingan dan konseling dapat memperbaiki persepsi mereka terhadap layanan ini. Kegiatan seperti workshop, seminar, dan kegiatan kelompok yang menyenangkan akan mempermudah mereka memahami bahwa bimbingan dan konseling bukan hanya sebagai tempat mengatasi masalah, tetapi juga sebagai pendukung perkembangan pribadi.

Di sisi lain, pelatihan dan pengembangan kompetensi untuk Guru BK sangat penting agar mereka mampu menjalankan tugas dengan profesional dan penuh empati. Guru BK yang kompeten akan mampu membangun hubungan yang lebih baik dengan siswa dan menunjukkan bahwa layanan ini benar-benar peduli terhadap kesejahteraan mereka. Tidak kalah penting adalah membangun kemitraan dengan berbagai pihak, seperti orang tua, guru, dan masyarakat sekitar, demi menciptakan lingkungan yang mendukung dan memperkuat citra positif layanan ini.

Inovasi dalam pelayanan bimbingan konseling menjadi aspek penting untuk meningkatkan efektivitas dan relevansi layanan di sekolah. Seiring perkembangan zaman dan teknologi, Guru BK dituntut untuk terus beradaptasi dan menciptakan metode baru yang memudahkan proses bimbingan. Salah satu inovasi utama adalah pemanfaatan teknologi digital seperti platform daring, aplikasi komunikasi, dan sistem manajemen data berbasis cloud. Penggunaan teknologi ini memungkinkan siswa mengakses layanan konseling kapan saja dan di mana saja, mengurangi hambatan geografis dan waktu. Selain itu, program layanan kreatif seperti workshop, seminar motivasi, dan kegiatan berbasis masalah sosial mampu menjaring lebih banyak siswa yang membutuhkan bantuan. Pendekatan berbasis kreativitas ini dapat meningkatkan partisipasi siswa dan membangun suasana yang lebih santai serta terbuka.

Program kegiatan kreatif dalam ruang bimbingan dan konseling sekolah memegang peranan penting dalam menciptakan suasana yang menarik dan efektif dalam proses pendampingan siswa. Melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat inovatif dan menyenangkan, siswa dapat lebih terbuka serta termotivasi untuk mengikuti layanan bimbingan. Program ini meliputi berbagai macam kegiatan seperti pelatihan seni, pembuatan media edukatif, lomba kreativitas, serta workshop pengembangan diri yang dilakukan secara berkala. Pendekatan ini bertujuan untuk mengatasi hambatan psikologis maupun sosial yang sering ditemui siswa, dengan menstimulus kemampuan ekspresi, kepercayaan diri, dan pengembangan potensi secara menyenangkan.

Peran stakeholder sangat penting dalam upaya merubah citra negatif terhadap bimbingan dan konseling di sekolah. Guru memegang peran sentral sebagai penghubung utama dengan siswa dan lingkungan sekolah. Melalui keterlibatan aktif dalam promosi dan penyuluhan, guru dapat membantu mengubah persepsi masyarakat dan siswa tentang manfaat serta relevansi layanan konseling. Selain itu, guru harus mampu memberikan contoh sikap positif terhadap layanan tersebut, sehingga menciptakan suasana yang mendukung dan membuka peluang komunikasi yang efektif. Orang tua juga memiliki peran vital dalam membentuk citra positif melalui dukungan dan pemahaman terhadap kegiatan bimbingan dan konseling. Dengan keterlibatan yang konsisten, orang tua dapat meminimalisir stigma sosial dan memperkuat kepercayaan siswa terhadap layanan tersebut. Masyarakat secara umum perlu dilibatkan dalam kegiatan sosialisasi dan edukasi mengenai pentingnya konseling di lingkungan sekolah.

Partisipasi aktif dari masyarakat akan membantu mengikis persepsi negatif dan memperluas pemahaman akan manfaat layanan bimbingan. Stakeholder ini harus bekerja secara sinergis dan berkelanjutan, dengan mengembangkan komunikasi yang transparan serta mengedepankan edukasi yang menyasar berbagai kalangan. Melalui kolaborasi yang kokoh, citra yang sebelumnya negatif dapat diarahkan untuk menjadi lebih positif dan konstruktif, sehingga tercipta lingkungan sekolah yang mendukung perkembangan mental dan emosional siswa. Dengan demikian, peran semua pihak ini menjadi fondasi utama dalam proses perubahan persepsi dan peningkatan citra layanan bimbingan dan konseling di sekolah.

*Penulis adalah dosen FTIK di UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

Minggu, 14 September 2025

MENTERI AGAMA RI: “DOSEN UIN TIDAK CUKUP MENJADI ILMUWAN TETAPI HARUS MENJADI CENDEKIAWAN MUSLIM.”

 

Kuliah Umum oleh Menteri Agama RI: Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA

inspirasipendidikan.com (14/9/2025)_  UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo menggelar kuliah umum dengan menghadirkan Menteri Agama RI, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA. Tema yang diusung sangat menarik yaitu Kurikulum Berbasis Cinta. Istilah yang digunakan memang begitu menarik karena menggunakan kata “Cinta”, abstrak namun bisa dirasakan kehadirannya oleh setiap makhluk. Dan memiliki variasi makna sesuai dengan persepsi yang mengartikan masing-masing.

Dalam kesempatan itu, Menteri Agama menyampaikan beberapa pesan yang mendalam tentang bagaimana seharusnya visi dari perguruan tinggi agama Islam. Menurutnya Perguruan Tinggi  Islam, khususnya Univeritas Islam Negeri  seharusnya menjadi pembeda dari perguruan tinggi umum. Tidak hanya beda dari sisi mutu dan tata kelolanya tetapi juga keberkahan dan kebermanfaatannya di masyarkat. Perguruan tinggi Islam tidak murni sebagai lembaga akademik saja, tetapi juga harus berfungsi lembaga dakwah. UIN harus menjadi lembaga ganda tanpa harus mereduksi satu sama lain.

Menteri Agama RI bersama Rektor UIN Ponorogo, dan Bupati Ponorogo 
UIN, diharapkan mampu melahirkan tidak hanya para lulusan yang berpengetahuan, menjadi seorang scientist/ ilmuwan, tetapi lebih dari itu harus menjadi seorang yang intelektual, yang tidak hanya menguasai pengetahuan, tetapi juga bisa mengamalkannya. Tidak hanya intelektual tetapi juga seorang cendekiawan. Seorang cendekiawan muslim adalah mereka yang memiliki dampak dan beresonansi kepada masyarakat dan bangsanya. Karena itu seorang cendekiawan itu lebih terhormat dibandingkan seorang intelektual.

Lebih lanjut menteri Agama RI menegaskan, bahwa untuk mencetak Cendekiawan muslim, maka diperlukan dosen yang tidak boleh sama kriterianya dengan dosen dari perguruan tingg umum. Baik dari sisi perekrutannya maupun kompetensi yang dimiliki. Dosen tidak boleh hanya mengajar, tetapi memberi keteladanan baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Mengapa demikian? Karena ekspektasi masyarakat begitu tinggi kepada UIN. Background UIN ini adalah putih, maka jangan pernah membuat satu titik noda pun, meskipun hanya satu titik noda hitam. Karena itu tanggung jawab dosen begitu berat, menjadi teladan bagi mahasiwanya. Hal yang serupa juga menjadi tanggung jawab mahasiswa untuk menjaga kehormatannya menjadi mahasiswa di UIN.

Pernyataan Prof. KH. Nasaruddin Umar tersebut tidaklah sederhana, apalagi di era dimana hampir semua orang memiliki jejak digital di media sosial, baik dosen dan mahasiswa. Sehingga diharapkan jika seorang dosen wanita atau mahasiswi mengenakan jilbab sewaktu di kampus, maka di mana pun juga dia harus menutup auratnya, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, apalagi diunggah di media sosial miliknya.

Perguruan tinggi Islam harusnya memiliki dosen-dosen unggul yang tidak hanya mengajar, tetapi juga harus bisa menjadi Mursyid, bahkan bisa menjadi seorang Syech. Pendidikan tidak hanya mentransfer pengetahuan, bukankah tidak ada gunanya/ manfaatnya jika mahasiswa pandai mendapat nilai cumlaude perilakunya kurang ajar, tidak beradab. Tidak mampu mengedepankan adab daripada ilmu. Dosen pada hakekatnya sama dengan guru. Guru berasal dari bahasa sansekerta, Gu yang berarti kegelapan dan Ru yang berarti Obor penerang. Jadi Guru sejatinya adalah obor pemberi penerangan saat gelap melanda. Kehadiran guru atau dosen harusnya menjadi pencerah/ penerang bagi kegelapan atau kebodohan yang melanda masyarakat. Hidup hanya sejengkal, apa yang hendak dicari, jika pemimpin perguruan tinggi, dosen, para pejabat tidak mampu memberi prestasi, maka kita akan malu kepada sejarah, apalagi jika sejarah itu dibaca oleh anak cucu di generasi selanjutnya.

Rektor UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo, Prof. Dr. Hj. Evi Muafiah

Dalam kesempatan Kuliah umum yang dihadiri ratusan civitas akademika UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo, Bupati Ponorogo dan beberaoa pejabat dari Kementerian Agama tersebut, Menteri juga berpesan bahwa hendaknya kita selalu membaca tidak hanya Al Qur’an mikrokosmos tetapi juga Al Qur’an Makrokosmos. Seluruh jagad raya semesta ini jauh sudah ada sebelum Al Qur’an mikrokosmos yang diwahyukan kepada Rasululloh. Jadi UIN dengan segala kompetensi dosen yang dimiliki tidak bleh hanyut dengan perguruan tinggi sekuler, yang hanya melahirkan mausia tumpul yang tidak memiliki kepekaan sosial. Islam mengajarkan kita untuk membaca ayat-ayat kauniyah, ciptaan Allah yang maha Agung harus dikaji dan dibaca secara mendalam sehingga menghadirkan manfaat bagi kemaslahatan manusia, tidak hanya manusia tetapi juga makhluk-makhluk lainnya. Sinergi dan saling mengasihani antar sesama makhluk inilah esensi dari ekoteologi.Hukum Alam termaktub dalam Al Qur’an Makrokosmos, tetapi Al Qur’an mikrokosmos memberi hukum syariah. Hal inilah yang dipelajari dan diamalkan secara berimbang.

Lebih khusus sebelum menutup kuliahnya, Menteri Agama berpesan “Agama seperti nuklir, bisa menghadirkan keselamatan dan manfaat  bagi ummat, lihatlah nuklir yang dikembangkan untuk tenaga listrik  dan sumber energi murah lainnya. Tetapi jika disalahgunakan, maka nuklir bisa menjadi senjata penghancur massal yang dahsyat bagi semua makhluk di muka bumi. Karena itu Agama harus difungsikan sebagaimana seharusnya, untuk keselamatan manusia dan seluruh makhluk, bukan untuk memecah dan mengadu domba keberadaan mansuia di muka bumi, bukan untuk menghancurkan.” (hary, 14/9/2025)

Minggu, 17 Agustus 2025

MENGIKIS NASIONALISME SEMU PADA GENERASI MUDA DI ERA GLOBAL

Oleh: Dr. Hariyanto, M.Pd

Era globalisasi semakin cepat berkembang, keberadaan nasionalisme sebagai identitas kolektif bangsa menghadapi tantangan besar dari dinamika sosial, budaya, dan teknologi yang tidak bisa diabaikan. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi membuka akses luas terhadap berbagai budaya asing dan informasi global, sehingga memunculkan kecenderungan untuk mengadopsi nilai-nilai asing yang terkadang bertentangan dengan identitas nasional. Perkembangan media sosial turut memperkuat arus globalisasi, yang tidak hanya mempermudah komunikasi lintas negara, tetapi juga berpotensi menyebarkan pemikiran yang bersifat individualistik dan kosmopolitan tanpa mempertimbangkan aspek kebangsaan. Konsekuensinya, munculnya fenomena “nasionalisme semu”, yaitu kesadaran kultural dan identitas bangsa yang dangkal dan tidak disertai dengan pemahaman mendalam terhadap makna kebangsaan. Hal ini menjadi tantangan serius bagi generasi muda. Fenomena ini diwarnai oleh meningkatnya kecenderungan untuk mengadopsi simbol-simbol nasional secara superficial, tanpa melibatkan komitmen kuat terhadap nilai-nilai dan keberlanjutan budaya bangsa.
Globalisasi membawa dampak besar terhadap kesadaran nasionalisme generasi muda di era modern. Di satu sisi, arus globalisasi memungkinkan penyebaran budaya, informasi, dan teknologi secara luas dan cepat, yang dapat memperkaya wawasan serta memperkuat semangat keterbukaan. Namun, di sisi lain, fenomena ini juga berpotensi melemahkan rasa identitas nasional karena pengaruh budaya asing yang masuk tanpa kendali, serta pola pikir yang lebih mengedepankan kepentingan individu atau global ketimbang kepentingan bangsa sendiri. Media sosial dan platform digital memfasilitasi pertukaran budaya lintas negara secara instan, sehingga generasi muda sering terpengaruh nilai-nilai yang bersifat kosmopolitan dan konsumtif, yang mungkin bertentangan dengan prinsip nasionalisme. Terlebih lagi, keterbukaan informasi secara luas dapat menyebabkan ketidakpastian identitas dan munculnya nasionalisme semu, yaitu perasaan bangga yang dangkal tanpa pemahaman mendalam terhadap jati diri bangsa. Oleh karena itu, tantangan utama dalam menjaga nasionalisme di tengah derasnya arus globalisasi adalah bagaimana membangun kesadaran akan pentingnya identitas nasional yang kokoh, sekaligus mampu bersaing secara global.
Strategi yang efektif meliputi penguatan pendidikan karakter dan budaya lokal yang relevan dalam kurikulum, serta peningkatan kegiatan sosial dan budaya yang memperkenalkan nilai-nilai bangsa secara langsung kepada generasi muda. Dengan demikian, meskipun globalisasi membuka peluang untuk saling memahami antar bangsa, penting untuk tetap menjaga dan memperdalam rasa bangga terhadap identitas bangsa agar tidak tergeser oleh arus luar yang bersifat sementara dan superficial.
Peran pendidikan dalam memperkuat nasionalisme menjadi salah satu aspek krusial dalam menghadapi tantangan nasionalisme semu di era globalisasi. Sistem pendidikan memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan nilai-nilai kebangsaan secara efektif dan membentuk identitas nasional yang kokoh pada generasi muda. Kurikulum pendidikan harus mampu mengintegrasikan materi yang menanamkan apresiasi terhadap budaya, sejarah, dan simbol-simbol kebangsaan secara mendalam. Dengan demikian, peserta didik tidak sekadar memahami secara teoritis, tetapi juga merasakan kedekatan emosional terhadap bangsa dan tanah airnya.
Selain itu, pendidikan karakter menjadi pondasi utama dalam membangun nasionalisme yang berkelanjutan. Pengajaran nilai-nilai seperti cinta tanah air, rasa hormat terhadap keragaman budaya, dan kejujuran perlu dijadikan bagian integral dari proses pendidikan. Melalui kegiatan belajar yang menanamkan kedisiplinan, tanggung jawab sosial, dan kebersamaan, siswa secara aktif belajar menghargai identitas nasional dan menginternalisasi semangat nasionalisme.
Penyelenggaraan program inovatif seperti proyek budaya, karya siswa, dan kegiatan keaspirasian nasional sangat efektif untuk menumbuhkan rasa bangga sebagai warga negara. Dalam konteks globalisasi, pendidikan harus mampu menyoroti keunikan dan kekayaan budaya nasional agar tetap relevan dan menarik perhatian generasi muda. Dengan pendekatan yang komprehensif, peran pendidikan dalam memperkuat nasionalisme menjadi lebih efektif dalam membangun identitas bangsa yang kuat dan mampu bersaing di tingkat global.
Moment peringatan kemerdekaan RI yang ke -80 dapat menjadi saat yang tepat untuk membangkitkan nasionalisme. Di seluruh penjuru negeri, bendera merah putih dikibarkan, berbagai bentuk karnaval pendidikan, bermacam perlombaan mulai di tingkat RT, Desa, lembaga pendidikan dari jenjang dasar sampai perguruan tinggi diselenggarakan secara meriah. Hal tersebut merupakan upaya positif membangkitkan rasa kecintaan dan syukur terhadap kemerdekaan negara Indonesia. Tetapi akan lebih bagus lagi jika berbagai macam perlombaan yang diadakan berbasis pada outcome untuk mencintai tanah air, bukan sekedar bergembira dan minim konten pendidikannya.
Strategi mengikis nasionalisme semu harus dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan dengan pendekatan yang menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat. Pertama, penguatan pendidikan nasional yang komprehensif menjadi fondasi utama. Kurikulum harus mencakup sejarah, budaya, dan nilai-nilai bangsa agar generasi muda mampu memahami identitas bangsa secara autentik dan menghargai keberagaman budaya. Selain itu, pendidikan karakter perlu diarahkan untuk menanamkan rasa bangga terhadap budaya lokal dan semangat kebangsaan yang tulus, bukan sekadar simbolis atau semu.
Kedua, perlu dilakukan kampanye kesadaran nasional secara menyasar langsung ke generasi muda melalui media yang mereka konsumsi sehari-hari, seperti media sosial dan platform digital. Kampanye ini harus mampu menyampaikan pesan yang edukatif dan inspiratif tentang pentingnya nasionalisme yang nyata dan kesejatian identitas bangsa. Melalui pesan yang menggugah, diharapkan mampu membangkitkan rasa cinta tanah air yang tidak terpengaruh oleh opini semu yang dipicu oleh globalisasi.
Ketiga, kegiatan sosial dan budaya merupakan sarana efektif dalam memperkuat rasa kebangsaan. Melalui partisipasi dalam kegiatan sukarela, festival budaya, dan acara komunitas lainnya, generasi muda dapat merasakan langsung keberagaman dan kekayaan budaya bangsa, sehingga membangun rasa memiliki yang mendalam dan tulus. Kegiatan ini juga meningkatkan solidaritas dan mempererat hubungan antar warga sekaligus memupuk rasa bangga terhadap identitas nasional.
Menjaga dan merawat NKRI adalah kewajiban bagi seluruh elemen bangsa, mulai dari yang diberikan amanah menjadi pejabat publik, sampai kalangan rakyat jelata. Yang menjadi pimpinan dan memiliki kewenangan serta kekuasaan harus memberikan contoh teladan kepada rakyatnya bahwa nasionalisme diwujudkan dengan menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara professional dan bertanggung jawab, tidak korupsi, dan benar-benar mementingkan rakyat. Nasionalisme sejati bukan terletak kepada mereka yang berkoar-koar sebagai nasionalis sejati, tetapi melakukan korupsi dan manipulasi. Nasionalisme sejati terlihat bagaimana mengabdi yang hakiki untuk kemajuan negeri.
Kepada seluruh generasi muda Indonesia, mari bangkit menjadikan nasionalisme terhadap Indonesia sebagai kebanggaan kolektif sebagai energi penggerak bagi bangsa yang berdaulat, sejahtera, dan maju bersama.( Hary, 17/08/2025)

--------   

* Penulis adalah dosen FTIK di UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo


Sabtu, 09 Agustus 2025

Apresiasi Sastra: Memahami Makna Tersembunyi dari Sebuah Karya Puisi " SELOKA RASA" Karya: Hariyanto

Oleh: Afrilia Eka Prasetyawati, M.Pd

Sahabat inspirasi pendidikan, kali ini kami akan berbagi  karya sastra berupa puisi.  Sebagai sebuah karya sastra, Puisi mengandung makna tersurat dan tersirat di dalamnya. kerap kali pesan yang ada dalam sebuah karya sastra Puisi tidak bisa diserap dengan mudah oleh pembacanya, karena penuh dengan kiasan, gaya bahasa, dan lain-lain. Tapi disitulah keunikannya, setiap penikmat puisi akan dibawa berselancar dalam dunia angannya secara berbeda sesuai dengan tingkat pemahamannya masing-masing. 

Berikut ini, kami sajikan sebuah puisi yang berjudul "SELOKA RASA" Karya: Hariyanto. Setelah itu Sahabat Inspirasi Pendidikan akan diberikan penjelasan secara singkat tentang makna dan pesan yang terkandung dalam puisi tersebut.


SELOKA RASA
Karya: Hariyanto

Masih selugu itukah rindumu
Bersama secangkir kopi pahit yang kau seduh untukku
Tak ada ucap hanya kerling genit alismu
Bersambut kibasan rambut legammu
Ujungnya tersapu jemari lentik rayu

Masih ingatkah kenangan itu
Perjalanan  cerita menuju senja
Tentang canda dan luka
Paduan desah resah berbuah cinta
Rasa yang terikat oleh kehendakNya

Masih sesederhana itukah cinta
Bertanda setangkai mawar jingga
Terapung diantara deras samudera
Bertaut menjaga benang merah tak kasat mata
Agar tak putus ikatannya

Sementara puing awan luruh
Mengkristal tersapu angin riuh
Lepaskahlah ikatan sauh
Bahtera ini harus tetap berlayar jauh 
Menuju dermaga berlabuh

Ponorogo, 23 Juni 2025

Sahabat inspirasi pendidikan, setelah membaca puisi tersebut, mungkin pembaca memiliki penafsiran yang berbeda, tetapi dari serangkaian kalimat yang sederhana tersebut, sejatinya dapat ditafsir maknanya. Puisi tersebut menggambarkan tentang sebuah perjalanan hidup dan perjalanan cinta seseorang dengan cara sederhana, diungkapkan dengan bahasa cinta yang sederhana tetapi nyata terasa. hal ini teruang dalam paragraf pertama, "masih selugu ituka rindumu, Bersama secangkir kopi pahit yang kau seduh untukku.." kalimat selanjutnya menunjukkan bahasa cinta dari dua pasangan yang ditunjukkan dalam bahasa tubuh "kerling genit alismu, kibasan rambut legammu" yang tersapu diujung jari lentik yang mampu membius rayu.

Perjalanan sebuah cinta, memang tidaklah singkat. Cinta terbangun oleh rasa. Dalam perjalanannya rasa berkristal menjadi sebuah kenangan yang tak mudah untuk terlupakan. Perjalanan hidup yang dibalut oleh sucinya cinta selalu memiliki warnanya. hal ini terungkap dalam kalimat "Perjalanan cerita menuju senja," disini penulis hendak mengingatkan bahwa setiap perjalanan manusia menuju masa kedewasaan sampai menjelang usia senja, pastilah diwarnai dengan suka dan duka. Layaknya sebuah kehidupan berumah tangga, pastilah rona suka, bahagia, duka menjadi hiasan tersendiri dan justru itulah yang memperkuat ikatannya. Secara sadar penulis mengungkapkan bahwa semua itu terjadi atas kehendakNya.

Pada paragraf ketiga puisi tersebut, Penulis menegaskan kembali kesederhanaan cinta, tapi dengan kesederhanaan itu cinta dapat dirawat. meskipun hanya terungkap melalui "setangkai mawar jingga." Perjalanan hidup dan cinta selalu diuji bagai gelombang, bentuk ujiannya pun bisa beragaman, ujian ekonomi, ujian kesetiaan, ujian tanggung jawab dan berbagai bentuk lainnya. Meskipun demikian, semua itu seolah tidak ada artinya apabila kedua pasangan (suami isteri) selalu berusaha "menjaga benang merah tak kasat mata agar tak putus ikatannya." Pemilihan ungkapan "Benang merah tak kasat mata" ini merujuk pada budaya dan kepercayaan  tertentu bahwa setiap pasangan yang berjodoh, sesungguhnya sudah terikat benang merah yang tidak tampak oleh mata. Kekuatan jodoh ini ditentukan oleh kuat dan lemahnya benang tersebut. Penulis hendak mengingatkan bahwa tugas setiap pasangan hidup adalah menjaga agar benang merah tidak putus meski sebesar apapun ujiannya. karena sesungguhnya inilah bukti kesetiaan dan kesucian cinta.

Cobaan hidup dan cinta yang semakin besar tersebut, tidak boleh menyurutkan perjalanan menuju visi hidup  yang hendak dicapai. Karena itu dalam paragraf terakhir, penulis menyatakan dalam kalimat "Lepaskanlah ikatan sauh, Bahtera ini harus tetap berlayar jauh, menuju dermaga berlabuh."

Nah, sahabat inspirasi pendidikan, demikianlah apresiasi terhadap karya sastra puisi yang berjudul, "SELOKA RASA".  Semoga bermanfaat dan menjadi inspirasi bagi sahabat semua. Pesan yang hendak disampaikan dan hikmah yang terkandung di dalamnya dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. (Afrilia, 08/08/2025)

* Penulis adalah pemerhati sastra

Selasa, 05 Agustus 2025

PENGIBARAN BENDERA ONE PIECE; KOMPLEKSITAS HUBUNGAN ANTARA IDENTITAS BUDAYA, EKSPRESI POLITIK, SERTA PERSEPSI TERHADAP SIMBOL NASIONALISME DI KALANGAN GENERASI MUDA

Oleh: Dr Hariyanto, M.Pd 

Dalam beberapa Minggu terakhir, muncul tren pengibaran bendera karakter dari serial anime terkenal, seperti One Piece, menjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia. Fenomena ini menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat tentang makna dan dampaknya terhadap rasa nasionalisme dan kritik terhadap pemerintah. Di satu sisi, pengibaran bendera ini dapat dianggap sebagai bentuk ekspresi kreativitas dan kebebasan berpendapat generasi muda yang ingin menyampaikan pesan melalui simbol yang sedang populer di budaya pop. Mereka memanfaatkan karakter yang ikonik untuk menarik perhatian dan merayakan identitas sendiri dalam konteks modern. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa tindakan ini mengikis makna simbol nasionalisme yang selama ini dipegang teguh, terutama dalam momen yang seharusnya memperkuat rasa cinta tanah air. Pengibaran bendera dalam bentuk ini bisa dianggap sebagai bentuk pergeseran makna yang mengurangi rasa hormat terhadap lambang negara, dan bahkan dapat menimbulkan kebingungan tentang makna simbol tersebut di kalangan masyarakat. Beberapa kritik memandang bahwa tren ini dapat menjadi bentuk protes tidak langsung terhadap kebijakan pemerintah, sebagai ekspresi ketidakpuasan yang diwakili melalui simbol yang tidak konvensional. Oleh karena itu, penting untuk memahami konteks dan niat di balik fenomena ini, serta mencari jalan tengah dalam menyalurkan aspirasi dan menjaga semangat nasionalisme yang sejati. Melalui analisis yang objektif, fenomena ini tidak hanya sekadar tren budaya pop, melainkan sebagai cerminan dinamika identitas dan sikap pemuda terhadap negara dan pemerintahnya.

Perbedaan Pandangan dalam Melihat Fenomena Pengibaran Bendera one piece

Bendera yang diadopsi dari emblem dalam manga tersebut sering kali digunakan sebagai bentuk ekspresi diri dan identitas komunitas pemuda yang menganggap bahwa simbol ini mampu merepresentasikan semangat perlawanan, kebebasan, dan kritik terhadap kekuasaan atau sistem yang dirasa tidak adil. Sebagian kalangan melihat tren ini sebagai bagian dari arus kebangkitan kesadaran politik dan sosial, di mana simbol yang berasal dari budaya populer digunakan sebagai media simbolik untuk menyampaikan pesan tertentu. Selain sebagai bentuk ekspresi, pengibaran bendera One Piece juga dipicu oleh keinginan untuk menunjukkan identifikasi terhadap karakter dan nilai yang diusung dalam karya tersebut. Dalam konteks ini, simbol dari manga ini bukan semata-mata berfungsi sebagai apresiasi terhadap karya seni, melainkan juga sebagai bentuk literasi simbolis yang mampu menyentuh aspek emosional dan identitas pemuda. Hal ini sejalan dengan perkembangan tren sosial dan budaya yang lebih mengedepankan individualisme dan keberagaman, di mana setiap individu menuntut ruang untuk menunjukkan eksistensinya melalui simbol-simbol yang relevan dengan minat dan nilai yang dipegang.

Namun, tren ini juga menimbulkan berbagai pertanyaan dan persepsi berbeda dari masyarakat umum dan pengamat sosial. Ada yang menganggap bahwa pengibaran bendera ini lebih bersifat sebagai gerakan simbolik yang berlebihan, bahkan cenderung merusak makna tradisional dari simbol nasionalisme. Di sisi lain, sebagian melihat fenomena ini sebagai bentuk kritik sosial yang konstruktif dan sebagai cermin dari dinamika perubahan nilai dalam masyarakat kontemporer. Dapat disimpulkan bahwa pengibaran bendera One Piece bukan hanya sekadar fenomena budaya pop, melainkan mencerminkan kompleksitas hubungan antara identitas budaya, ekspresi politik, serta persepsi terhadap simbol nasionalisme di kalangan generasi muda. Sebuah representasi budaya yang mampu memicu diskusi dan refleksi kritis terhadap konstruksi identitas dan kekuasaan dalam masyarakat modern

Pengibaran Bendera One Piece Menjelang Peringatan Hari Kemerdekaan

Hari Kemerdekaan Indonesia bukan sekadar perayaan tahunan yang diperingati dengan upacara dan perlombaan. Lebih dari itu, momen ini memuat makna mendalam tentang identitas nasional dan perjuangan bangsa. Tradisi mengibarkan bendera merah putih di berbagai tempat menjadi simbol usaha mempertahankan rasa nasionalisme dan cinta tanah air. Dalam konteks tersebut, pengibaran bendera memiliki fungsi sebagai pengingat sejarah perjuangan kemerdekaan dan sebagai bentuk solidaritas bangsa. Namun, munculnya tren pengibaran bendera dari anime populer seperti One Piece di kalangan anak muda menimbulkan berbagai interpretasi baru mengenai makna patriotisme dan ekspresi kebangsaan.

Pengibaran bendera dari karya budaya pop ini ramai diperdebatkan. Sebagian melihatnya sebagai bentuk ekspresi kreativitas tanpa niat polemik, sementara yang lain memandang hal tersebut sebagai kritik implisit terhadap kebijakan pemerintah atau bahkan sebagai upaya penolakan terhadap simbol nasional. Tradisi pengibaran bendera secara konvensional dalam rangka perayaan kemerdekaan tetap memiliki posisi utama yang dihormati, namun keberadaan simbol dari dunia hiburan ini turut menambah dimensi baru dalam persepsi nasionalisme. Pada akhirnya, fenomena ini harus dipahami sebagai bagian dari dinamika budaya yang mencerminkan respon generasi muda terhadap simbol-simbol nasional dan peran mereka dalam membangun identitas bangsa. Di tengah perubahan zaman, penting bagi masyarakat dan pemuka budaya untuk membuka ruang dialog yang konstruktif, memadukan tradisi dengan inovasi yang relevan bagi generasi muda, serta memperkuat kembali rasa nasionalisme melalui pemahaman yang mendalam terhadap simbol-simbol yang mereka anggap bermakna.

Sikap generasi muda terhadap pengibaran bendera memegang peranan penting dalam memperkuat rasa kebangsaan dan memupuk identifikasi terhadap simbol negara. Sebagai agen perubahan dan penerus bangsa, sikap mereka cenderung mencerminkan tingkat pemahaman akan makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam pengibaran bendera. Ketidakpedulian, apatisme, atau bahkan sikap kritis berlebihan bisa muncul sebagai respons terhadap simbol ini, jika tidak diimbangi dengan pendidikan dan pemahaman yang memadai. Oleh karena itu, pendidikan politik melalui pengibaran bendera harus mampu menanamkan rasa hormat, bangga, dan tanggung jawab kepada generasi muda. Penting adanya penanaman nilai bahwa pengibaran bendera tidak hanya sebatas ritual formal, melainkan sebagai wujud penghormatan terhadap sejarah perjuangan dan identitas nasional. Sikap positif dari generasi muda akan memungkinkan mereka untuk menikmati makna kedalaman simbol tersebut, sekaligus mampu menjadi agen penyebar semangat nasionalisme di lingkungan mereka. Di sisi lain, sikap kritis yang konstruktif harus didorong agar generasi muda tidak hanya sekadar mengikuti upacara tanpa memahami esensi dan filosofi dari pengibaran bendera.

Melalui dialog dan pendidikan berkelanjutan, diharapkan generasi muda mampu menumbuhkan kesadaran politik yang kuat, yang berlandaskan penghormatan terhadap simbol-simbol negara sekaligus apresiasi terhadap hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara. Dengan demikian, sikap generasi muda terhadap pengibaran bendera bukan hanya sebagai ritual, melainkan sebagai bentuk komitmen mereka dalam menjaga dan meneruskan perjuangan bangsa serta memperkuat ikatan sosial dan politik di tengah perkembangan zaman yang cepat dan dinamis. Seiring dengan komitmen tersebut, maka pengibaran bendera one Piece akan hilang dengan sendirinya, dan tidak akan terulang dengan simbol-sibol yang lain. Di sisi lain Pemerintah juga harus tetap tanggap terhadap aspirasi masyarakatnya melalui berbagai bentuk kritik konstruktif, dan tidak menggunakan praktik intimidatif untuk memberangus bentuk penyampaian kritik tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Kesimpulan

Pengibaran bendera memiliki peran penting sebagai sarana pendidikan politik yang efektif dalam membentuk kesadaran nasional dan menanamkan nilai-nilai patriotisme kepada masyarakat. Melalui kegiatan ini, baik di tingkat sekolah maupun acara resmi, masyarakat diajarkan tentang simbolisme yang terkandung dalam bendera, seperti keberanian, identitas bangsa, dan persatuan. Pengibaran bendera secara rutin di lingkungan sekolah tidak hanya sekadar upacara seremonial, tetapi juga sebagai momen untuk menanamkan rasa cinta tanah air dan memahami makna perjalanan sejarah bangsa. Pada hari-hari besar nasional maupun acara kenegaraan, pengibaran bendera berfungsi sebagai simbol penghormatan dan pengingat terhadap perjuangan pahlawan serta kebanggaan akan identitas nasional. Media sosial turut memengaruhi persepsi dan praktik pengibaran bendera, memperluas jangkauan pesan nasionalisme, namun juga menimbulkan tantangan dan kontroversi baru terkait sikap generasi muda terhadap simbol ini. Dalam konteks global, perbandingan dengan negara lain menunjukkan berbagai pendekatan terhadap pengibaran bendera, yang dipengaruhi oleh globalisasi dan dinamika politik internasional. Secara umum, pengibaran bendera mampu menjadi media efektif dalam penyampaian pesan sosial dan politik, sering digunakan dalam kampanye sosial maupun gerakan politik. Dampaknya terhadap kesadaran politik masyarakat sangat signifikan, karena pengibaran bendera mampu memupuk rasa kebangsaan, memperkuat solidaritas, serta memperteguh identitas nasional di tengah tantangan global dan perubahan sosial. Pemerintah memiliki peran strategis dalam menjaga makna dan penghormatan terhadap pengibaran bendera agar tetap relevan dan dihormati sebagai simbol persatuan bangsa. Di tingkat internasional, pengibaran bendera turut memperlihatkan sikap hormat terhadap simbol negara lain, mempererat hubungan diplomatik dan menegaskan identitas nasional di forum global. Studi kasus di Indonesia memperlihatkan bahwa sejarah dan tradisi pengibaran bendera telah mengalami berbagai evolusi, mencerminkan perubahan sosial dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Secara keseluruhan, pengibaran bendera bukan sekadar ritual, melainkan sebagai bentuk pendidikan politik yang mampu memperkuat semangat nasionalisme, mempererat persatuan, dan menyampaikan pesan moral serta harapan bangsa terhadap masa depan.

----------

*Penulis adalah Dosen di FTIK UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

Selasa, 29 Juli 2025

MENCERDASKAN ANAK BANGSA DI TENGAH KESEJAHTERAAN YANG KATANYA HANYA MENJADI WACANA

Oleh: Munfaridah Nur Fauziah

Guru merupakan seorang pendidik yang memiliki jasa paling berharga bagi setiap orang. Hal ini tidak bisa dipungkiri bahwa guru telah membersamai siswa sejak pendidikan kanak-kanak hingga mengantarkan siswa ke jenjang perguruan tinggi. Guru tidak hanya menjadi seorang pengajar saja, tapi juga menjadi pendidik, motivator, pembimbing, teladan, hingga berperan dalam pembentukan karakter dan kepribadian siswa. Tak heran guru juga dinobatkan menjadi orang tua kedua bagi para siswa ketika di sekolah. Melihat banyaknya peran guru serta besarnya jasa yang diberikan kepada siswa, sudah sepatutnya guru mendapat imbalan yang sepadan dengan kerja keras mereka. Akan tetapi realita yang terjadi tidak sesuai dengan harapan dan ekspektasi yang ada. Negara ingin anak bangsanya cerdas tapi mereka terkadang tidak memperhatikan kesejahteraan dan kenyamanan guru yang harusnya guru dapatkan.

Guru Itu Mengabdi Bukan Profesi

Pernyataan yang mengatakan bahwa guru itu mengabdi bukan profesi memang benar adanya. Menjadi seorang guru merupakan sebuah panggilan dan juga pengabdian. Akan tetapi, dengan hal ini bukan berarti kesejahteraan serta keadilan guru dapat dikesampingkan dan berujung pada pengabaian hak-hak guru. Karena guru itu mengabdi maka sebagai negara yang mementingkan dan menghormati pendidikan, sudah selayaknya memberikan imbalan atau penghargaan sebagai rasa terima kasih dan hal tersebut tidak berhenti pada ucapan melalui kata-kata saja melainkan harus tampak pada kesejahteraan, perlindungam, serta kebijakan yang tidak memberatkan bagi guru. Sebagai aktor utama dalam pendidikan, guru sering kali diberi beban kerja yang begitu banyak, mulai dari tuntutan administrasi, membuat perangkat pembelajaran, menghadapi berbagai karakter dan kepribadian siswa, dan belum lagi menghadapi komplain-komplain dari para orang tua siswa. Apalagi saat ini guru dituntut untuk bisa beradaptasi dengan perkembangan teknologi agar siswa mampu bersaing dengan standar kebutuhan pengembangan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi. Meskipun banyak tanggungan yang harus dikerjakan, tapi guru selalu menunaikannya karena ini semua demi kelancaran dalam mendidik serta membimbing para siswa-siswanya.

Kesejahteraan Yang Menjadi Wacana

Mengenai kesejahteraan guru, banyak sekali janji-janji yang sudah dilontarkan oleh pemerintah. Mulai dari janji kenaikan tunjangan hingga janji untuk sertifikasi serta PPPK. Akan tetapi, dilansir dari website resmi Kompas.com masih banyak guru yang masih mendapatkan gaji dibawah UMR. Tak jarang pula pemberian gaji terhadap guru juga mengalami penundaan. Selain itu, dikutip dari artikel karya Anwar Dhobith menuliskan bahwa terdapat kasus dimana seorang guru bernama Anam di SDN 02 Tarokan Kabupaten Kediri yang mendapatkan gaji perbulan hanya

berkisar antara Rp.200.000-Rp.300.000 saja. Hal ini membuktikan bahwa kesejahteraan guru masih benar-benar belum merata di Indonesia, terlebih lagi di daerah yang terpencil dan pelosok. Jika dari segi finansial guru belum mendaptkan kesejahteraan yang layak, maka dapat menghambat kelancaran dalam proses pembelajaran, karena fokus guru akan terbagi antara mengajar dan melaksanakan pekerjaan sampingan demi mencukupi kebutuhan.

Perlindungan Guru Yang Masih Menjadi Tanda Tanya

Pada akhir tahun 2024, viral seorang guru bernama Supriyani yang ditahan karena tuduhan palsu yang dilaporkan oleh salah satu orang tua siswa, kemudian juga terdapat kasus di mana seorang guru di Bengkulu bernama Zaharman yang diketapel orang tua siswa karena telah menegur anaknya yang merokok. Terlepas dari kebenaran dua kasus tersebut, di sini yang menjadi sorotan adalah bagaimana pemerintah menanggapi dan menyediakan perlindungan bagi para guru baik ASN maupun non-ASN. Sehingga guru memiliki rasa aman atas kesejahteraan perlindungannya baik perlindungan hukum, perlindungan dari kekerasan, serta perlindungan dari aspek keselamatan kerja yakni pada saat mengajar. Pada akhir-akhir ini perlindungan yang disediakan pemerintah berupa represif dimana sebuah kejadian sudah terjadi kemudian viral dan pemerintah baru turun tangan, padahal seharusnya akan lebih baik jika perlindungan yang diberikan bersifat preventif yakni berupa pencegahan sehingga hal-hal yang tidak diinginkan terjadi dapat diantisipasi. Dampak dari perlindungan hukum yang lemah dan sebagaimana dari fenomena guru yang dipidanakan tersebut membuat guru lain merasa takut jika ingin mendisiplinkan muridnya. Para guru khawatir jika mereka menegur muridnya maka mereka akan bernasib sama seperti Ibu Supriyani yang dilaporkan pada pihak berwajib. Hal ini tentunya juga menjadi hambatan seorang guru dalam mendidik para siswa karena mendisiplinkan siswa dengan niat mendidik bisa di salah artikan dan di salah pahami oleh siswa dan orang tua siswa yang menganggap itu sebuah kekerasan dan penganiayaan. Jadi perlindungan terhadap guru di Indonesia perlu ditingkatkan lagi dan tentunya mengenai hal ini harus ada kerja sama dan komunukasi antara pihak sekolah, pemerintah, organisasi guru, wali murid, dan juga masyarakat sehingga dalam proses pembelajaran di sebuah lembaga pendidikan dapat berjalan dengan aman, tentram, dan dapat mencapai tujuan pendidikan yang ingin dituju.

Dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan guru dari segi finansial, tunjangan, dan juga perlindungan guru di Indonesia harus ditingkatkan lagi, karena hal ini akan berpengaruh terhadap proses kelangsungan belajar mengajar. Guru itu pekerjaan yang sangat mulia bahkan seorang pejabat pun tidak akan bisa menjadi pejabat jika dulu mereka tidak dibimbing oleh seorang guru. Sebagai rasa terima kasih kepada guru, maka pemerintah dan masyarakat harus memberikan kesejahteraan yang adil, kebijakan serta perlindungan yang mendukung dan tidak menyulitkan guru serta semua itu sudah selayaknya terealisasi dengan nyata dan bukan hanya sebatas wacana yang hanya untuk didengarkan saja.
----------
* Penulis adalah Mahasiswi Jurusan PAI, UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

Jumat, 18 Juli 2025

MISTERQU GELAR “SHOOTING” BAGI SISWA-SISWINYA

 

inspirasipendidikan.com_ MisterQu begitu masyarakat Ponorogo mengenalnya. Sebuah nama lembaga pendidikan dibawah naungan Yayasan Qurrota A’yun Ponorogo. Misterqu sejatinya adalah Madrasah Ibtidaiyah Tahfidz dan Enterpreneur. Sesuai dengan Visinya yaitu membentuk generasi Qur’ani dan Enterpreneur, maka berbagai keterampilan pendukung lainnya juga diberikan kepada para siswa-siswinya. Salah satunya adalah pelatihan menulis yang disesuaikan dengan level kemampuan literasi anak usia pendidikan dasar. Shooting adalah akronim dari Short story training. Sebuah pelatihan menulis cerita pendek bagi siswa-siswi kelas 5 dan 6 MisterQu. Bagi sebagian besar orang mungkin mengira akan sulit untuk mengajarkan keterampilan menulis cerita pendek, tetapi tidak bagi para siswa dan siswi di sekolah ini, karena setiap tahun buku-buku karya peserta didik berhasil diterbitkan. Misalnya, buku Kumpulan Cerpen “Kami yang Tak Pernah Biasa’ karya siswa-siswi kelas 6 tahun 2025. Kemampuan Literasi inilah yang ingin terus dibangkitkan oleh Kepala MI Tahfidz dan Enterpreneur Qurrota A’yun, Lia Anies Winianti, M.Pd. Bersama jajarannya Kepala Madrasah berhasil memajukan lembaga yang dipimpinnya hingga mendapatkan peringkat akreditasi “UNGGUL”.

Kegiatan Shooting / Short Story Training yang digelar kali ini bertepatan dengan agenda Matsama (Masa Ta’aruf Santri Madrasah), tanggal 17 Juli 2025. Dimulai pada pukul 08.00 WIB sampai selesai di Aula Lantai 2 MisterQu. Trainer kegiatan shooting adalah Ibu Afrilia Eka Prasetyawati, M.Pd, seorang penulis sekaligus Manager di Penerbit CV. Pustaka El Queena. Dipilihnya Ibu Afrilia sebagai Trainer ini karena pengalamannya di bidang menulis, dan keberhasilannya membimbing putri-putrinya yang sejak sekolah dasar sudah berhasil menerbitkan beberapa buku karya sendiri. Selain itu juga faktor kompetensi akademik yang dimiliki, karena yang bersangkutan adalah seorang guru, magister pendidikan dan sastra Bahasa Indonesia.

Tidak mengherankan jika acara pelatihan ini menyenangkan karena penyampaian yang mudah dipahami, mulai dari dasar, dan penuh ketelatenan dalam membimbing. Keberanian peserta didik untuk bertanya dan menjawab pertanyaan dari trainer menunjukkan kegiatan berlangsung dua arah. Anak-anak merasa nyaman sehingga tidak terasa lebih dari 2 jam berlalu dengan cepat. Dalam kesempatan itu, Ibu Afrilia menjelaskan pengertian Cerpen, ciri-ciri cerpen, langkah mudah untuk menulis cerpen bagi anak usia pendidikan dasar, dan meminta anak-anak menulis dalam beberapa paragraf serta menceritakan kembali apa yang ditulisnya secara lisan. Dengan demikian, selain menulis, secara tidak langsung peserta didik juga dilatih berani untuk mengasah keterampilan public speakingnya.

Sebagai apresiasi dari Ibu Afrilia, beberapa siswa yang berani bertanya, menulis dengan hasil yang bagus, dan berani tampil menceritakan kembali cerpennya secara lisan, diberikan hadiah cendera mata dari penerbit CV. Pustaka El Queena dan beberapa buku cerpen yang telah diterbitkan.

Ustadzah Dyah, yang mendampingi kegiatan tersebut, merasa bersyukur dan berterima kasih kepada narasumber yang memberikan bekal menulis kepada peserta didiknya. Tentu saja untuk hasil yang sangat bagus memerlukan waktu panjang, sehingga dirinya berharap bahwa kegiatan semacam ini bisa secara konsisten dilaksanakan demi membekali keterampilan menulis anak-anak didiknya.

Pada akhir acara pelatihan menulis cerpen ini, Ibu Afrilia sebagai seorang trainer professional memberikan motivasi mengapa menulis itu penting. Menurutnya menulis adalah mengukir peradaban di masa kini dan di masa depan. “Dengan membaca kita mengenal dunia, dan dengan menulis kita dikenal dunia.” Tegasnya. “Imam Al Ghazali pernah mengatakan bahwa jika kamu bukan anak seorang raja, bukan anak seorang ulama, maka menulislah. Karena orang lain akan mengenal kamu dari bentangan pikiran-pikiran yang kamu tuangkan dalam tulisan. Tidak perlu menunda, mulailah menulis. Dan jadilah generasi yang bermanfaat tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi keluarga, lingkungan sekitar kamu dan membanggakan bangsamu melalui karya-karya hebatmu.” Imbuhnya.

Selanjutnyan Kegiatan ditutup dengan doa dan foto bersama dengan peserta didik dan para ustadz ustadzah Misterqu yang hadir di Aula tersebut. Salam Literasi! (Humas,18/7/2025)