Oleh: Noor Aziza Nilla Prihandika
f '
Berbagi Inspirasi dan informasi pendidikan
Pendidikan bukan cuma pergi ke sekolah dan mendapatkan gelar. Tapi, juga soal memperluas pengetahuan dan menyerap ilmu kehidupan.
Kurang cerdas bisa diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki (Bung Hatta)
Tinggikan dirimu, tapi tetapkan rendahkan hatimu. Karena rendah diri hanya dimiliki orang yang tidak percaya diri.
Hanya orang yang tepat yang bisa menilai seberapa tepat kamu berada di suatu tempat.
Puncak tertinggi dari segala usaha yang dilakukan adalah kepasrahan.
Oleh: Noor Aziza Nilla Prihandika
Oleh: Muhammad Muslih
Oleh: Muhammad Shlahudin Al Farabi
Pendidikan
seharusnya menjadi sarana pembentukan manusia seutuhnya, bukan hanya tempat
memperoleh nilai dan ijazah. Kurikulum memiliki peran penting dalam membimbing
peserta didik agar mampu berpikir mandiri, beradaptasi dengan perkembangan
zaman, dan menjalani kehidupan secara bermakna[1].
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tujuan pendidikan nasional
adalah membentuk manusia Indonesia yang religius, berbudi pekerti luhur,
cerdas, dan mandiri[2].
Oleh karena itu, sistem pendidikan seharusnya lebih dari sekadar proses
transfer pengetahuan, melainkan wadah yang mengembangkan karakter dan
kepedulian sosial peserta didik. Sayangnya, harapan tersebut sering kali tidak
tercermin dalam pelaksanaan di lapangan.
Di
sisi lain, dinamika perubahan kurikulum di Indonesia justru menimbulkan
kebingungan dan beban baru, alih-alih perbaikan yang nyata[3].
Kurikulum Merdeka, misalnya, meskipun membawa konsep yang terdengar inovatif,
masih belum bisa diterapkan secara optimal karena keterbatasan sarana dan
kurangnya pelatihan bagi tenaga pendidik[4].
Banyak guru harus menghabiskan waktu untuk memenuhi tuntutan administratif,
sementara siswa masih berfokus pada nilai akhir ketimbang makna belajar[5].
Proses pembelajaran pun menjadi kehilangan arah. Hal ini menunjukkan bahwa
permasalahan utama pendidikan kita bukan pada kekurangan kurikulum, melainkan
pada ketiadaan arah pendidikan yang jelas dan berkelanjutan.
Selama
kurang lebih dua puluh tahun terakhir, sistem pendidikan di Indonesia telah
mengalami enam kali perubahan kurikulum, mulai dari Kurikulum 1994, Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
2006, Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat saat pandemi, hingga Kurikulum Merdeka
yang diterapkan sejak 2022. Frekuensi
perubahan ini menunjukkan bahwa pendidikan kita cenderung bergerak tanpa arah
yang pasti[6].
Padahal, dalam sistem pendidikan yang ideal, kurikulum bukan sesuatu yang bisa
diganti sewaktu-waktu, melainkan harus dibangun atas dasar visi jangka panjang
yang kuat.
Perubahan yang terlalu
sering ini mengindikasikan bahwa Indonesia belum memiliki pijakan filosofis
yang mantap dalam menentukan arah pendidikan nasional. Pergantian kurikulum
lebih banyak dipengaruhi oleh dinamika politik, pergantian kepemimpinan, atau
sekadar merespons situasi sementara, bukan dari evaluasi mendalam terhadap
tujuan pendidikan[7].
Akibatnya, para pendidik dan peserta didik sering kali menjadi korban dari
kebijakan yang belum matang. Proses belajar pun terjebak dalam transisi
terus-menerus yang melelahkan. Hal ini mempertegas bahwa inti masalah
pendidikan kita bukan semata-mata terletak pada bentuk kurikulum, tetapi pada
ketidakjelasan arah pendidikan itu sendiri.
Kemudian ada fenomena lima
tahunan yang sering kali muncul yakni, bergantinya kurikulum setiap kali
terjadi pergantian Menteri Pendidikan[8],
hal ini mencerminkan bahwa Indonesia belum memiliki arah pendidikan yang
konsisten dan berkesinambungan. Seharusnya, kurikulum dirancang berdasarkan
visi jangka panjang yang tetap relevan meski terjadi perubahan kepemimpinan.
Namun dalam kenyataannya, kurikulum justru sering berubah mengikuti kebijakan
menteri baru, seolah menjadi agenda individu bahkan ada isu kurikulum pesanan,
bukan bagian dari rencana nasional yang utuh. Hal ini menunjukkan lemahnya
komitmen pemerintah dalam menjaga kesinambungan pendidikan serta ketiadaan peta
jalan yang jelas menuju masa depan.
Lebih dari itu, isi kurikulum
yang diajarkan pun sering kali tidak selaras dengan kebutuhan nyata masyarakat.
Banyak materi yang bersifat teoritis dan normatif, namun minim relevansi dengan
tantangan kehidupan sehari-hari maupun dunia kerja[9].
Akibatnya, lulusan pendidikan formal justru kerap kesulitan beradaptasi di
lapangan. Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa perencanaan pendidikan Indonesia
belum benar-benar berpijak pada kebutuhan rakyatnya. Kurikulum berubah, tetapi
orientasinya tetap tidak jelas—tidak menjawab tantangan zaman, tidak membekali
peserta didik dengan keterampilan esensial, dan tidak mengarahkan pendidikan ke
masa depan yang nyata.
Akar persoalan pendidikan di
Indonesia bukan semata-mata terletak pada jumlah atau bentuk kurikulum,
melainkan pada absennya arah yang konsisten dan visi jangka panjang yang kokoh.
Pergantian kurikulum yang terlalu sering, tanpa dasar filosofis yang kuat,
mencerminkan betapa pendidikan kita masih terombang-ambing oleh dinamika
kebijakan jangka pendek. Namun, kondisi ini seharusnya tidak memadamkan
semangat kita untuk terus belajar dan berkarya. Justru di tengah ketidakpastian
sistem, kita ditantang untuk menjadi pribadi yang adaptif, berpikir kritis, dan
mampu memberi manfaat bagi sesama. Apapun bidang yang kita tekuni, sekecil apa
pun peran yang kita jalankan, selama dilakukan dengan niat tulus dan kepedulian
terhadap negeri ini, maka kita telah turut serta menyalakan cahaya perubahan.
Sebagaimana yang pernah
dikatakan oleh Ki Hadjar Dewantara, "Setiap orang menjadi guru, setiap
rumah menjadi sekolah." Maka, biarlah kita memulai dari diri
sendiri—dengan terus belajar, peduli, dan berbuat baik—karena masa depan
Indonesia bukan hanya ditentukan oleh sistem, melainkan oleh mereka yang tak
pernah lelah menyalakan harapan.
Daftar Pustaka:
[1] Mohamad Rifqi Hamzah et al., “Kurikulum Merdeka Belajar sebagai Wujud Pendidikan yang Memerdekakan Peserta Didik,” Arus Jurnal Pendidikan 2, no. 3 (December 11, 2022): 221–26, https://doi.org/10.57250/ajup.v2i3.112.
[2] “Implementasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Di Blitar | Jurnal Supremasi,” accessed June 21, 2025, https://ejournal.unisbablitar.ac.id/index.php/supremasi/article/view/374.
[3] M. Afiqul Adib, “Evaluasi dan Kritik terhadap Pelaksanaan Kurikulum Merdeka: Perspektif Guru, Siswa, dan Pengelola Pendidikan,” SERUMPUN : Journal of Education, Politic, and Social Humaniora 3, no. 1 (February 26, 2025): 1–18, https://doi.org/10.61590/srp.v3i1.146.
[4] Indra Gunawan and Yohanes Bahari, “Problematika Kurikulum Merdeka Dalam Sudut Pandang Teori Struktural Fungsional (Study Literatur),” Journal Of Human And Education (JAHE) 4, no. 4 (July 13, 2024): 178–87, https://doi.org/10.31004/jh.v4i4.1191.
[5] “Ketika Guru Sibuk Urus Administrasi PMM, Mas Menteri Sayangilah Guru Kita!,” Detik Aceh News (blog), accessed June 21, 2025, https://www.detikacehnews.id/2024/06/ketika-guru-sibuk-urus-administrasi-pmm.html.
[6] medcom id developer, “6 Kali Ganti Kurikulum dalam 20 Tahun, Pendidikan Indonesia Mau Dibawa Kemana?,” medcom.id, April 30, 2025, https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/Obz58MxN-6-kali-ganti-kurikulum-dalam-20-tahun-pendidikan-indonesia-mau-dibawa-kemana.
[7] Fadhilah Sabrina et al., “Persepsi Publik Terhadap Pergantian Menteri Pendidikan: Studi Survei Di Kalangan Mahasiswa Dan Tenaga Pendidik,” Dinamika Pembelajaran : Jurnal Pendidikan Dan Bahasa 2, no. 1 (2025): 107–20, https://doi.org/10.62383/dilan.v2i1.1122.
[8] Bagelen Channel, “Ganti Menteri Ganti Kurikulum? Sebuah Tantangan dan Harapan Bangsa Indonesia Untuk Pendidikan Masa Depan‣ Bagelen Channel,” January 24, 2025, https://bagelenchannel.com/2025/01/ganti-menteri-ganti-kurikulum-sebuah-tantangan-dan-harapan-bangsa-indonesia-untuk-pendidikan-masa-depan/.
[9] Eps 860 | Berita Duka : Kurikulum Pendidikan Indonesia Cuma Omon Omon, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=Yb_Z5OiF4C8.
Memasuki
jenjang pendidikan tinggi adalah salah satu fase penting dalam kehidupan
seseorang. Pilihan jurusan kuliah bukan hanya menentukan arah studi selama
beberapa tahun, tetapi juga memengaruhi jalur karier dan masa depan seseorang.
Namun, di balik pentingnya keputusan tersebut, tidak sedikit mahasiswa yang
justru merasa telah salah memilih jurusan. Fenomena salah jurusan menjadi isu
yang cukup umum di kalangan mahasiswa Indonesia, bahkan tidak jarang berdampak
pada kesehatan mental, motivasi belajar, hingga kegagalan akademik.
Data dari berbagai survei
menunjukkan bahwa sekitar 30–50% mahasiswa di Indonesia pernah
merasa salah jurusan. Dalam survei yang dilakukan oleh
Youthmanual pada tahun 2020, lebih dari 45% mahasiswa
mengaku tidak yakin dengan jurusan yang mereka ambil, dan 27%
menyatakan bahwa mereka ingin pindah jurusan setelah satu hingga dua semester
perkuliahan. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak mahasiswa yang membuat
keputusan tanpa pemahaman yang cukup terhadap diri sendiri maupun jurusan yang
dipilih.
Dampak dari salah jurusan tidak
bisa dianggap sepele. Mahasiswa yang tidak merasa cocok dengan jurusannya
cenderung mengalami penurunan motivasi belajar,
stres berkepanjangan, bahkan dropout. Selain itu,
kondisi ini bisa menyebabkan pemborosan waktu, tenaga,
dan biaya, baik bagi mahasiswa maupun keluarganya. Dalam jangka
panjang, salah jurusan juga dapat berimbas pada minimnya kesiapan
lulusan dalam menghadapi dunia kerja, karena mereka tidak
memiliki keterampilan yang sesuai atau tidak memiliki ketertarikan terhadap
bidang yang digeluti.
Fenomena ini menggambarkan
pentingnya kesiapan mental dan informasi yang matang sebelum memilih jurusan
kuliah. Kurangnya bimbingan karier di tingkat sekolah menengah, tekanan dari
keluarga, serta kurangnya pemahaman diri menjadi beberapa faktor utama yang
mendorong mahasiswa salah memilih jurusan.
Dengan menyadari tingginya
angka kesalahan dalam pemilihan jurusan dan dampaknya, perlu ada langkah
konkret, baik dari pihak individu, keluarga, maupun institusi pendidikan, untuk
mencegah dan menangani fenomena ini secara serius. Oleh karena itu, artikel ini
akan membahas penyebab mahasiswa salah memilih jurusan, langkah yang harus
diambil setelah menyadarinya, dampaknya terhadap masa depan, serta strategi
antisipatif agar calon mahasiswa tidak mengalami hal serupa.
Penyebab
Mahasiswa Salah Memilih Jurusan
1.
Kurangnya Pemahaman Diri
Banyak
mahasiswa belum sepenuhnya mengenal minat, bakat, dan potensi dirinya saat
memilih jurusan. Mereka mungkin memilih jurusan berdasarkan nilai tinggi di
mata pelajaran tertentu, bukan karena ketertarikan jangka panjang.
2. Tekanan Orang Tua
atau Lingkungan
Ada kalanya pilihan jurusan lebih didorong oleh keinginan orang tua, status
sosial, atau tren, bukan pilihan pribadi. Hal ini bisa membuat mahasiswa merasa
tidak nyaman saat menjalani kuliah.
3. Kurangnya Informasi
tentang Jurusan
Tidak semua calon mahasiswa memahami secara menyeluruh isi perkuliahan dan
prospek kerja dari jurusan yang dipilih. Mereka bisa saja baru menyadari
ketidaksesuaian ini setelah memasuki perkuliahan.
4. Salah Persepsi
terhadap Karier
Banyak yang memilih jurusan dengan anggapan keliru tentang prospek kerja yang
akan dijalani. Misalnya, mengira jurusan tertentu akan memberikan pekerjaan
yang "keren" atau "menghasilkan banyak uang", tanpa
mempertimbangkan realitas di lapangan.
Apa yang Harus Dilakukan Jika Sudah
Terlanjur Salah Jurusan?
1.
Lakukan Refleksi Diri
Kenali
akar penyebab ketidaknyamanan. Apakah karena metode pembelajaran, materi
kuliah, lingkungan, atau memang tidak sesuai dengan minat dan nilai hidup?
2.
Konsultasi dengan Dosen Pembimbing atau Konselor Kampus
Bicarakan
kondisi ini dengan orang yang berpengalaman. Mereka bisa memberikan saran
objektif, termasuk kemungkinan pindah jurusan atau strategi bertahan.
3.
Pertimbangkan Pindah Jurusan atau Kampus
Jika
benar-benar merasa tidak cocok dan masih berada di semester awal, pindah
jurusan bisa menjadi solusi jangka panjang. Tentu, keputusan ini harus
dipikirkan matang-matang.
4.
Manfaatkan Waktu untuk Pengembangan Diri di Luar Kampus
Jika
pindah jurusan tidak memungkinkan, cobalah mengembangkan skill atau minat
melalui organisasi, kursus online, atau magang di bidang yang disukai.
5.
Tentukan Arah Karier Lebih Awal
Meskipun
tidak cocok dengan jurusan, masih banyak peluang karier yang tidak selalu harus
linier dengan pendidikan formal. Fokus pada apa yang bisa dikembangkan dan dimanfaatkan
dari pengalaman kuliah.
Langkah Antisipasi agar Tidak Salah
Jurusan
1.
Lakukan Tes Minat dan Bakat Sejak Dini
Tes
psikologi dan asesmen karier dapat membantu mengenali kecenderungan alami dan
potensi seseorang.
2.
Riset Mendalam tentang Jurusan dan Karier
Calon
mahasiswa harus aktif mencari informasi dari berbagai sumber seperti website
resmi kampus, alumni, atau profesional di bidang tersebut.
3.
Ikuti Seminar atau Konseling Karier
Mengikuti
workshop atau bimbingan karier sebelum SNBT/SNBP bisa membantu memperjelas arah
pendidikan.
4. Jangan Terburu-Buru
Mengikuti Tren
Pilih
jurusan bukan karena sedang populer atau karena teman masuk ke sana, tetapi
berdasarkan kesesuaian pribadi.
5.
Libatkan Orang Tua sebagai Mitra Diskusi, Bukan Penentu
Orang
tua sebaiknya memberikan dukungan dan ruang bagi anak untuk memilih jalannya
sendiri, bukan memaksakan kehendak.
Salah memilih jurusan bukan akhir dari
segalanya. Yang terpenting adalah bagaimana mahasiswa menyikapi kondisi
tersebut dengan bijak dan tidak menyerah. Setiap kesalahan bisa menjadi awal
dari keputusan yang lebih baik jika ditindaklanjuti dengan refleksi dan
perencanaan yang matang. Bagi calon mahasiswa, mengenal diri dan melakukan
riset mendalam sebelum memilih jurusan adalah kunci agar perjalanan akademik
dan karier di masa depan tidak terhambat oleh keputusan yang terburu-buru.
Tetap Semangat dan Salam Inspirasi (Hary/15/06/2025)
inspirasipendidikan.com_ Sahabat Inspirasi Pendidikan, kali ini kami akan berbagi satu naskah lomba pidato dengan tema pentingnya beraklaqul karimah bagi seorang pelajar. Tentu saja tema seperti ini sering dijumpai pada waktu pembaca akan mengikuti lomba pidato. Naskah pidato ini bisa digunakan dan diperkirakan waktunya tidak lebih dari 7 menit. Perhatikan betul tempo, ekspresi, intonasi, artikulasi dan tentu saja kepercayaan diri anda saat membawakan pidato ini. selamat mencoba dan teruslah berlatih sampai anda berhasil menjadi seorang orator yang hebat.
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ
الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ
وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ
yang
saya hormati Dewan juri, dan
Hadirin
Rohimakumulloh.
Pertama-tama
marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah
memberikan nikmat kepada kita, dari nikmat yang paling kecil, sampai nikmat
yang paling besar, yaitu nikmat Iman dan Islam. Apa bukti kenikmatan itu?
sampai detik ini kita tetap diberi keimanan dan secara istiqomah menjalankan
perintah Alloh dalam Al Qur’an dan ajaran Rasulullah melalui Al Hadits.
Sholawat
beserta salam marilah kita haturkan kepada junjungan kita, Baginda Nabi
Muhammad SAW.
Hadirin
Rohimakumulloh,
Dewan
Juri yang terhormat,
Dalam
kesempatan yang berbahagia ini, saya akan menyampaikan pidato dengan judul “Pentingnya
berAkhlaqul Karimah Bagi Seorang Pelajar”
Bapak
Ibu, teman-teman sekalian, Akhir-akhir ini kita mendengar berita anak-anak yang
menjadi korban bully di sekolah.Tahu bully kan? Ya…itu bahasa
Indonesianya Perundungan, yaitu sebuah perbuatan yang tidak menyenangkan
seperti mengucilkan, menindas, menyusahkan orang lain dan berpotensi dilakukan
berulang-ulang. Teman-teman pernah jadi korban bully di sekolah? Pernah membully?
Astaghfirulloh, sesungguhnya bully ini adalah perbuatan yang tidak
terpuji. Tentu saja perbuatan ini sangat dilarang oleh agama Islam. Sebagai
pelajar kita tidak boleh melakukan perbuatan itu.
Sebagai
pelajar Islam sudah seharusnya kita mencontoh Akhlaqul karimah yang
dipraktekkan Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-hari. Al Qur’an secara
tegas menerangkan:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ
فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ
ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا
Artinya: Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.
Hadirin yang berbahagia,
lantas contoh aklaqul karimah yang seperti apa yang seharusnya dilakukan oleh
para pelajar?
Yang pertama, Akhlaq
kepada Alloh SWT, apa maksudnya? Sebagai makhluk kita tidak boleh menyekutukan
Alloh SWT, harus menjalankan peritahNya dan menjauhi laranganNya.
Yang kedua, Akhlaq kepada
guru dan orang tua. Kita harus menghormati, berbakti kepada guru dan orang tua,
menuruti semua nasehat-nasehatnya. InsyaAlloh keberkahan dan ridho dari
beliau-beliau itu akan menjadi pintu pembuka untuk masa depan kita yang lebih
baik.
Yang ketiga adalah Akhlaq
terhadap ilmu pengetahuan, bahwa semua ilmu pengetahuan yang kita miliki harus
bermanfaat untuk semua manusia, dan semua makhluk Alloh.
Dewan
juri dan hadirin Rohimakumulloh,
Demikianlah
yang bisa saya sampaikan. Semoga
sebagai pelajar kita dapat memiliki dan mempraktekkan aklaqul karimah. Akhlaq yang terpuji sesuai
tuntunan rasulullah.
Saya
tutup pidato ini dengan pantun:
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Oleh: Dr. Hariyanto, M.Pd
Di era digital yang serba cepat dan kompleks ini, peran
guru Bimbingan dan Konseling (BK) menjadi semakin penting namun juga semakin
menantang. Perkembangan teknologi informasi yang pesat tidak hanya memengaruhi
cara siswa belajar, tetapi juga memengaruhi dinamika psikososial mereka. Dalam
konteks ini, muncul harapan baru dari siswa: sosok guru BK yang tidak hanya
tegas dalam menegakkan aturan, tetapi juga bersahabat dan empatik dalam
mendampingi mereka melewati fase-fase sulit kehidupan remaja.
Sayangnya, persepsi negatif terhadap guru BK masih cukup
kuat di kalangan siswa. Banyak yang menganggap guru BK sebagai "polisi
sekolah" yang tugasnya hanya menghukum atau mencari kesalahan. Hal ini
tidak terlepas dari pendekatan yang terlalu represif dan kurang humanis yang
masih sering dijumpai di sejumlah sekolah. Contohnya, praktik razia HP tanpa
izin atau penyitaan barang pribadi tanpa prosedur yang jelas sering kali
menimbulkan trauma dan hilangnya kepercayaan siswa.
Lebih jauh, praktik razia HP dan membuka isi percakapan
pribadi siswa tanpa izin dapat melanggar prinsip dasar hak asasi manusia,
termasuk hak atas privasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28G UUD 1945 dan
diperkuat oleh Pasal 26 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam UU ITE, data pribadi dilindungi secara
hukum, dan penyebaran maupun pengaksesan informasi pribadi tanpa izin dapat
dipidana. Oleh karena itu, guru BK harus memahami bahwa niat baik sekalipun
tidak membenarkan pelanggaran privasi siswa. Tanpa persetujuan tertulis atau
dasar hukum yang kuat, praktik seperti membuka isi chat pribadi adalah bentuk
pelanggaran hukum dan etika profesi.
Padahal, fungsi utama guru BK adalah membantu siswa
memahami diri, mengatasi masalah, dan berkembang secara optimal, baik secara
akademik, sosial, maupun emosional. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan yang lebih
adaptif dan relevan dengan zaman. Guru BK harus mampu menjembatani antara
ketegasan dalam menegakkan norma dan sikap bersahabat yang membangun hubungan
emosional yang sehat dengan siswa. Harus diingat bahwa Pelayanan bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu individu
menemukan dan mengembangkan potensi dirinya, memiliki sikap dan kebiasaan
belajar yang efektif, mengenal dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan
merencanakan pilihan karir dan kehidupannya di masa depan.Tujuan mulya
tersebut hendaknya dilakukan juga dengan cara yang tepat.
Hasil penelitian oleh Sari & Permana (2020) menunjukkan
bahwa siswa lebih terbuka dan merasa nyaman berkonsultasi apabila guru BK
menunjukkan sikap empatik, tidak menghakimi, dan bersedia mendengarkan secara
aktif. Penelitian lain oleh Hidayati (2021) juga menegaskan bahwa pendekatan
konseling yang humanistik dan non-represif meningkatkan efektivitas layanan
konseling hingga 73% dibandingkan pendekatan tradisional yang kaku dan
otoriter. Dalam praktik nyata hampir bisa dipastikan hanya sedikit sekali siswa
yang sukarela datang ke ruang BK untuk konseling, berbicara dari hati ke hati
dengan guru BK mengenai permasalahan pribadi, permasalahan yang terkait dengan
sekolah, dan pengembangan karir. Justru mereka datang karena dipanggil guru BK.
Sikap tegas bukan berarti keras atau otoriter, melainkan
konsisten dalam nilai dan aturan yang disepakati bersama. Sementara sikap
bersahabat mencerminkan empati, keterbukaan, dan kesediaan untuk mendengarkan
tanpa menghakimi. Dalam kombinasi ini, siswa akan merasa aman sekaligus
dihargai sebagai individu yang memiliki suara dan masalah yang layak didengar.
Era digital juga menuntut guru BK untuk melek teknologi.
Menggunakan media sosial, platform konseling daring, dan pendekatan digital
lainnya dapat menjadi sarana yang efektif untuk membangun kedekatan dengan
siswa. Guru BK yang memahami bahasa digital dan tantangan dunia maya yang
dihadapi siswa akan lebih relevan dan diterima.
Akhirnya, harapan siswa terhadap guru BK di era digital
sangat jelas: mereka menginginkan sosok yang bisa menjadi pendengar setia,
pembimbing bijak, dan mitra yang bisa dipercaya. Ketegasan tetap diperlukan,
tetapi harus dibalut dengan sikap humanis yang penuh empati. Dengan begitu,
ruang BK akan berubah dari tempat yang ditakuti menjadi tempat yang dicari
ketika siswa butuh pertolongan.
Transformasi ini hanya mungkin terjadi jika guru BK
bersedia merefleksikan ulang peran dan pendekatannya. Kepala sekolah juga
memiliki peran strategis dalam menciptakan budaya sekolah yang mendukung fungsi
konseling yang sehat dan efektif. Kepala sekolah harus memberikan pelatihan
berkelanjutan bagi guru BK agar dapat mengembangkan pendekatan yang lebih
empatik, berbasis data, dan sesuai etika profesi. Selain itu, penting bagi
kepala sekolah untuk membentuk kebijakan sekolah yang melindungi hak-hak siswa,
termasuk privasi digital mereka.
Kepala sekolah juga dapat memfasilitasi forum komunikasi
antara siswa dan guru BK, misalnya dalam bentuk survei kepuasan layanan BK atau
dialog terbuka untuk mendengarkan aspirasi siswa. Dengan demikian, siswa merasa
dilibatkan dan dihargai, sementara guru BK memperoleh masukan berharga untuk
memperbaiki pendekatan mereka. Langkah-langkah ini akan memperkuat citra guru
BK sebagai mitra pengembangan potensi siswa, bukan sekadar penegak disiplin. Di
antara ketegasan dan kehangatan, di situlah terletak kekuatan sejati seorang
guru BK masa kini.
Daftar Pustaka:
Hidayati, R. (2021). Efektivitas
Pendekatan Humanistik dalam Layanan Bimbingan Konseling di Sekolah Menengah.
Jurnal Konseling Pendidikan, 9(2), 112–120.
Sari, M., & Permana, A. (2020). Persepsi
Siswa terhadap Sikap Empatik Guru BK dan Dampaknya pada Keterbukaan Konseling.
Jurnal Psikologi dan Konseling, 8(1), 45–53.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28G.
---------
* Penulis adalah dosen FTIK di UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo