|  | 
| Dr. Hariyanto, M.Pd* | 
Ghostwriter,
sebuah istilah asing yang akhir-akhir ini sering kita dengar seiring dengan
banyaknya publikasi abal-abal dan krisis integritas yang melanda dunia
pendidikan. Ghostwriter adalah seorang penulis bayangan yang menulis
untuk keperluan orang lain. Tindakannya disebut ghostwriting. Seorang ghostwriter
mendapatkan bayaran dari hasil menulisnya tetapi karya yang ditulisnya
diatasnamakan orang yang membayarnya sebagai punulis. Arnani dan Nindhita
(2024) menyebut ghostwriting ini dengan contract cheating atau academic
outsourcing. Clarke & Lancaster (2006) mendefinisikan
contract cheating merujuk pembayaran
kepada orang lain untuk menyelesaikan tugas sehingga orang yang membayar tersebut
mengklaim tugas itu atas nama sendiri. Istilah ini di Indonesia juga dikenal
dengan nama perjokian.
Fenomena perjokian atau ghostwriting ini sangat
marak di Indonesia, bahkan tidak jarang diiklankan melalui media sosial. Tentu
saja fenomena sosial ini melahirkan profesi baru yaitu joki atau ghostwriter. Ghostwriting
tidak hanya diperuntukkan pada penulisan karya-karya ilmiah
seperti menulis buku, skripsi, tesis, desertasi, artikel ilmiah, tetapi juga
karya non ilmiah atau fiksi seperti penulisan cerpen, novel dan bentuk karya
fiksi lainnya. Dengan demikian dapat diketahui justru praktik ini sedang
melanda dalam dunia akademik, di kalangan mahasiswa, siswa, dosen, guru, atau
bahkan pejabat publik yang memiliki sumber daya ekonomi tetapi kurang memiliki
kemampuan atau tidak memiliki banyak waktu untuk menghasilkan karya tulis.
Kecurangan akademik tersebut semakin nyata apabila
kita membaca hasil riset yang berjudul predatory publishing in Scopus;
Evidence on cross-country  differences oleh Vit
Machachek dan Martin Shrolek (2022) bahwa terdapat banyak jurnal termasuk dalam
Beal’s List, sebagai jurnal abal-abal.  dari 172 negara di empat bidang penelitian
menunjukkan keragaman yang luar biasa. Di negara Kazakhstan dan Indonesia
sebanyak 17% dari artikel dipublikasikan dalam jurnal predator. Praktik ghostwriting
ini seolah lazim terjadi di kalangan mahasiswa, karena itu
sering kali kita jumpai mahasiswa yang secara terang-terangan membuat iklan di
status whatsappnya dengan membuka jasa pembuatan
makalah, pembuatan slide presentasi, penyusunan proposal skripsi, artikel
jurnal dan lain-lain dengan mematok tarif yang beragam.
Mengapa profesi ghostwriter ini muncul
dan semakin menggurita? Disinilah mestinya kita harus kita renungkan bersama
dengan tanpa terlebih dahulu mengkambing hitamkan ghostwriter.
Bagaimanapun harus diakui bahwa ghostwriter ini adalah
orang-orang yang memiliki kompetensi dalam bidang tulis menulis, jika mereka
masih berstatus mahasiswa, maka bisa dikategorikan mahasiswa yang piawai dalam
menulis bahkan pandai. Fuad Fachruddin (2023) menganalisis dari dimensi ekonomi
dan psikologi. Faktor yang medasar adalah kebutuhan finansial. Para ghostwriter
ini menjual jasa demi mendapat imbalan. Sementara pengguna jasa ghostwriter
ini melakukan cara yang menodai integritas akademik demi
mendapatkan nilai atau pengakuan dari publik. Disinilah dilematiknya antara
urusan perut dan kejujuran akademik yang harus dijunjung tinggi. Mana yang akan
dipilih. Pada level perguruan tinggi,Wandayu, Purnomosidhi dan Ghofar (2019)
menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa faktor mahasiswa melakukan kecurangan
akademik adalah keyakinan etis mahasiswa,
jika mahasiswa memiliki keyakinan tinggi bahwa melakukan kecurangan akademik
merupakan tindakan yang etis atau tidak etis akan memengaruhi mahasiswa
melakukan kecurangan. Faktor lainnya adalah Tekanan mahasiswa atas studi dan
kesempatan berpengaruh terhadap niat mahasiswa melakukan kecurangan.
Menghadapi kondisi krisis integritas ini, penulis
menyodorkan beberapa hal yang bisa digunakan sebagai cara untuk mengurangi agar
krisis tidak berkelanjutan menyebar lebih dalam pada dunia akademik,
menginfeksi mahasiswa bahkan dosen, juga para pejabat atau tokoh-tokoh publik. Pertama, Menumbuhkan
kesadaran kepada para penulis dengan mengkampanyekan praktik integritas  dan profesionalisme penulis. Hal ini bisa
dilakukan dengan turut memberikan ruang kepada mereka untuk menjadikan profesi
penulis tidak hanya untuk membangun literasi di Indonesia, tetapi juga dapat
memberikan bekal income yang layak
dari hasil karya tulisnya. Penghormatan terhadap hak cipta dan kepatuhan dalam
memberikan royalti kepada penulis harus ditingkatkan dan dilakukan secara
jujur. Kedua, Kampus sebagai sumber peradaban
hendaknya secara terus menerus melakukan upaya preventif agar kecurangan
akademik tidak dapat dilakukan mulai dari ruang kelas melalui tugas-tugas yang
diberikan dosen, sampai pada tugas akhir sesuai jenjang studinya. Dosen harus
dibekali dengan kompetensi untuk dapat mendeteksi kecurangan mahasiswa dalam
bentuk apapun, semua tindakan plagiasi tidak boleh ditolerir. Kompetensi dosen
ini diimbangi dengan implementasi teknologi. Hal ini diperlukan karena
mahasiswa dengan mudah menggunakan Artificial intellegencies untuk menghasilkan
karya tulisnya, mengalami ketergantungan penuh pada produk AI sehingga lambat
laun bisa kehilangan kemampuan critical thinking. Ketiga, Tugas
membangun literasi di Indonesia adalah tugas seluruh elemen bangsa, maka para
pejabat publik, tokoh masyarakat, dosen dan guru hendaknya memberikan teladan
atau contoh dengan tidak menggunakan jasa ghostwriter untuk
kepentingan popularitas pribadi, demi mendongkrak popularitas. Sebagai role
model hendaknya memiliki kemampuan menulis dan kemampuan public speaking secara
berimbang.
Menjaga integritas harus menjadi prioritas, demi
membangun pendidikan di Indonesia yang lebih baik. Sebagai bangsa besar, sudah
seharusnya kita merasa malu dan menjauhi perbuatan yang akan menjerumuskan
lebih dalam lagi pada krisis integritas.






 
 
 
 
 
 
 
.jpeg) 
 
 

0 comments:
Posting Komentar