f ' November 2025 ~ Inspirasi Pendidikan

Inspirasi Pendidikan untuk Indonesia

Pendidikan bukan cuma pergi ke sekolah dan mendapatkan gelar. Tapi, juga soal memperluas pengetahuan dan menyerap ilmu kehidupan.

Bersama Bergerak dan Menggerakkan pendidikan

Kurang cerdas bisa diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki (Bung Hatta)

Berbagi informasi dan Inspirasi

Tinggikan dirimu, tapi tetapkan rendahkan hatimu. Karena rendah diri hanya dimiliki orang yang tidak percaya diri.

Mari berbagi informasi dan Inspirasi

Hanya orang yang tepat yang bisa menilai seberapa tepat kamu berada di suatu tempat.

Mari Berbagi informasi dan menginspirasi untuk negeri

Puncak tertinggi dari segala usaha yang dilakukan adalah kepasrahan.

Kamis, 13 November 2025

MENDENGAR TASBIH SEMESTA YANG TERLUKA: SEBUAH KAJIAN KRITIS ATAS PUISI "RATAPAN DOA SEMESTA" KARYA: SHAKAYLA ADZKIYA EL QUEENA

 

Afrilia Eka Prasetyawati, M.Pd *
Sahabat inspirasi pendidikan, Sebuah karya sastra sering digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan indah, namun efektif. meskipun demikian terkadang kita harus menyelami pikiran dan pesan dari penulisnya. Kali ini saya akan menyingkap tabir pesan dalam puisi yang ditulis oleh penyair yang masih belia, yaitu Shakayla Adzkiya El Queena Harfianto. Judul puisi yang ditulisnya adalah Ratapan Doa Semesta. Agar lebih bisa memahami secara  utuh berikut saya sertakan puisi yang ditulisnya.

RATAPAN DOA SEMESTA 
KARYA : SHAKAYLA ADZKIYA EL QUEENA HARFIANTO

Langit tak lagi biru, temaram bersyahadat menyebut asmaMU
Diantara kilatan cahaya petir dan kabut gelap 
Gunung dalam diam bertafakkur bersujud dibawah kabut 
Menyimpan tasbih pada batu-batu yang dicongkel keserakahan 
Air setia mengalirkan do’a yang tak pernah didengar anak manusia 
Jerit burung melafalkan takbir di kala fajar, dianggapnya nyanyian belaka

Manusia… manusia…
Selalim itukah engkau, hingga tega mencabik-cabik semesta 
Menanam bumi dengan pasak-pasak besi 
Mencincang isi perutnya demi tambang 
Selalim itukah engkau, hingga tega menodai semesta 
Meracuni angkasa dengan asap-asap  berlaksa 
Kerakusan demi kerakusan terbungkus diksi pembangunan

Sungai berdoa dalam keruhnya.
” Ya, Rabb, aku dulu jernih membawa kehidupan, kini aku penuh dengan bangkai kesombongan.” 
Namun manusia  menutup telinga dari doa air yang luka. 
Pohon-pohon merenung dalam dzikir panjangnya
Daun-daunnya luruh seperti tasbih yang putus dibabat nafsu 
Bumi, menahan rintih seraya berdoa “Kuatkan aku ya Allah” 
Meski rahimnya gersang  terpanggang

Ya Allah, yang Maha Lembut 
Engkau masih menulis kasih diantara kehancuran alam 
Setiap petir yang kau kirim adalah peringatan-Mu 
Setiap longsor adalah teguran lembut dari –Mu 
Setiap bumi berguncang adalah bentuk sapaan-Mu 
Tapi kami  tak mampu membaca titahMu 

Ya Allah, Ya Ghaffar izinkan hamba bersujud di atas tanah yang kami lukai 
Dengan air mata sebagai hujan penebus 
Untuk menumbuhkan rasa dan logika
bahwa setiap daun, setiap angin, setiap badai
adalah ayat ayat kauniyah yang kami dustakan sekian lama
Sungguh semesta ini adalah kitab-Mu yang terbuka.
Ajarilah kami kembali mendengar tasbih semesta
Yang menuntun kami menuju  jalan pulang.

Ponorogo, 22 Oktober  2025

Sekarang mari kita dalami isi puisi tersebut melalui artikel ini. Artikel ini akan mengulas puisi tersebut, tidak hanya sebagai karya seni, tetapi sebagai sebuah dokumen empirik yang merekam jejak spiritualitas dalam krisis lingkungan.

Di tengah hiruk-pikuk diskursus tentang krisis iklim yang seringkali terjebak dalam data statistik dan jargon teknis, muncul sebuah suara liris yang mengingatkan kita pada akar spiritual dari bencana ekologis. Suara itu hadir dalam puisi "Ratapan Doa Semesta", karya Shakayla Adzkiya El Queena Harfianto. Jauh dari sekadar keluhan, puisi ini adalah sebuah teofani, sebuah penyingkapan kesakralan alam yang dicederai, sekaligus sebuah kritik tajam terhadap antroposentrisme yang dibungkus dalam "diksi pembangunan".

Antara Tasbih dan Eksploitasi: Diksi sebagai Medan Laga
Kekuatan analitis (kajian empirik) utama dari puisi ini terletak pada penggunaan diksi yang sangat kontras. Shakayla secara brilian mempertentangkan dua leksikon (kosakata) yang saling bertarung: leksikon spiritualitas alam dan leksikon kekerasan industrial. Di satu sisi, semesta digambarkan dalam aktivitas ibadah yang khusyuk. Kita menemukan kata-kata seperti: bersyahadat, bertafakkur, bersujud, tasbih, takbir, dan dzikir panjang. Langit, gunung, air, dan burung bukan sekadar objek, melainkan subjek yang aktif memuji Sang Pencipta. Di sisi lain, hadir leksikon brutal yang mewakili tindakan manusia: dicongkel keserakahan, mencabik-cabik, menanam... pasak-pasak besi, mencincang isi perutnya, meracuni, dan dibabat nafsu.

Pertarungan empirik dalam puisi ini terjadi ketika aktivitas sakral alam dilanggar oleh aktivitas profan manusia. Gunung dalam diam bertafakkur sementara batu-batu (tempatnya bertasbih) dicongkel keserakahan. Jerit burung melafalkan takbir namun dianggapnya nyanyian belaka. Ini adalah kritik pedas: manusia tidak hanya merusak alam, tetapi telah tuli secara spiritual, gagal membedakan antara takbir dan nyanyian.

Pembangunan sebagai Eufemisme Kerakusan

Puisi ini mencapai puncak kritik sosialnya dalam satu baris yang menohok: Kerakusan demi kerakusan terbungkus diksi pembangunan.

Ini adalah pengamatan empirik yang tajam. Sang penyair remaja  ini mampu mengidentifikasi bahwa kata "pembangunan" seringkali berfungsi sebagai eufemisme, penghalusan bahasa, untuk menutupi motif sebenarnya, yaitu kerakusan dan eksploitasi. "Mencincang isi perutnya demi tambang" secara politis sering disebut sebagai "pembukaan lapangan kerja" atau "peningkatan pendapatan daerah".

Shakayla, melalui puisinya, menelanjangi eufemisme ini. Ia menunjukkan bahwa di balik retorika kemajuan, ada bangkai kesombongan yang mengotori sungai dan daun-daun luruh seperti tasbih yang putus.

Alam sebagai Kitab yang Terbuka

Analisis puisi ini tidak lengkap tanpa memahami kerangka teologis yang diusungnya. Krisis yang digambarkan bukanlah sekadar krisis ekologi, melainkan krisis teologi. Bencana alam yang terjadin seperti petir, longsor, bumi berguncang, secara eksplisit ditafsirkan bukan sebagai fenomena acak, melainkan sebagai "pesan" dari Tuhan.

Puisi ini menyebutnya: peringatan-Mu, teguran lembut dari-Mu, dan bentuk sapaan-Mu.

Masalahnya, manusia telah kehilangan kemampuan hermeneutiknya. Kita gagal menafsirkan pesan tersebut. Tapi kami tak mampu membaca titahMu. Kegagalan membaca inilah yang menjadi dosa terbesar. Penyair menegaskan ini di akhir puisi. Alam semesta diidentifikasi sebagai ayat-ayat kauniyah (ayat-ayat alam) dan kitab-Mu yang terbuka. Kita telah mendustakan ayat-ayat tersebut begitu lama sehingga kita lupa cara membacanya. Kerusakan lingkungan, dalam optik puisi ini, adalah bukti kebutaan kita dalam membaca "Kitab Semesta".


Kesimpulan: Doa untuk Menumbuhkan Rasa dan Logika
"Ratapan Doa Semesta" adalah sebuah karya yang matang. Ia berhasil melampaui sekadar puisi protes lingkungan. Ini adalah sebuah elegi, sebuah kritik sosial, dan sebuah doa pertobatan yang mendalam. Puisi ini tidak berhenti pada kemarahan, tetapi bergerak menuju resolusi spiritual. Solusi yang ditawarkan bukanlah solusi teknokratis, melainkan solusi batiniah: izinkan hamba bersujud di atas tanah yang kami lukai,  Dengan air mata sebagai hujan penebus.

Tujuannya? Untuk menumbuhkan rasa dan logika. Sebuah penutup yang indah. Shakayla tidak menolak logika (yang sering diidentikkan dengan "pembangunan"), tetapi ia ingin logika itu ditumbuhkan kembali di atas tanah pertobatan, disirami oleh "rasa" (empati dan spiritualitas).

Pada akhirnya, puisi ini adalah panggilan untuk "pulang". sebuah ajakan untuk kembali belajar mendengar tasbih semesta sebagai penuntun jalan kita. Sebuah karya yang kuat, relevan, dan sangat dibutuhkan di zaman ini. Shakayla, sang penyair muda ini mampu membingkainya dala karya yang indah namun syarat makna yang mendalam.

----------------------------
*
Penulis adalah pemerhati bidang sastra

Sabtu, 08 November 2025

TRANSFORMASI NILAI KEPAHLAWANAN GEN Z

Penulis: Afrilia Eka Prasetyawati

Hari Pahlawan diperingati setiap tanggal 10 Nopember. Hal ini berdasarkan Keppres Nomor 316 Tahun 1959. Penetapan hari pahlawan ini sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan heroic para pemuda dan semua elemen masyarakat Surabaya dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Seperti catatan sejarah, pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pasukan sekutu bersama NICA bermaksud menduduki kembali Indonesia, termasuk Surabaya yang dimulai dengan tibanya tentara sekutu dan Nica pada tanggak 25 Oktober 1945 dipimpin oleh Brigadir Jenderal A. W. S. Mallaby. Mereka ingin melucuti senjata para pejuang. Tetapi Para pejuang menolak dan terjadilah peperangan besar pada tanggal 10 Nopember 1945. Tidak terhitung jumlahnya para pejuang yang gugur. Namun tentara sekutu juga mengalami kerugian besar. Termasuk tewasnya Brigjen Mallaby.

Mempertahankan kemerdekaan merupakan kewajiban bagi seluruh warga negara, bahkan pada zaman dahulu, para pejuang rela mengorbankan hidupnya. Sekarang setelah Indonesia merdeka 80 tahun, maka nilai-nilai kepahlawanan dari para pendahulu, seharusnya diwarisi oleh generasi muda. Kepahlawanan memegang peranan penting dalam pembentukan karakter dan identitas bagi Generasi Z. Dalam dunia yang terus berkembang dengan tantangan kompleks, keberanian untuk bertindak dan sikap kepahlawanan tidak hanya menjadi teladan, tetapi juga menjadi sumber inspirasi yang mampu membakar semangat perubahan positif. Generasi Z dikenal dengan tingkat kesadaran sosial yang tinggi dan kepekaan terhadap isu-isu global, tetapi sering kali mereka menghadapi ketidakpastian dan berbagai hambatan dalam mengimplementasikan nilai-nilai tersebut secara nyata. Oleh karena itu, memahami pentingnya kepahlawanan adalah langkah strategis dalam mengarahkan energi dan kreativitas mereka ke arah yang konstruktif.

Kepahlawanan bagi Generasi Z bukan sekadar keberanian menghadapi bahaya, melainkan juga keberanian untuk berinisiatif, berkontribusi aktif dalam masyarakat, dan memperjuangkan keadilan. Kepahlawanan merupakan bentuk nyata dari sikap berani berbicara dan bertindak demi kebaikan bersama, yang dapat menjadi inspirasi bagi generasi lain dan memperkuat rasa solidaritas sosial. Melalui keberanian dan komitmen yang tulus, mereka mampu menjembatani nilai-nilai luhur dengan aksi nyata, memperlihatkan bahwa setiap individu memiliki potensi untuk menjadi pahlawan dalam konteks kehidupannya.

Pentingnya kepahlawanan bagi Generasi Z juga terletak pada kemampuannya menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kepedulian sosial. Di tengah arus digitalisasi dan kemudahan akses informasi, sikap kepahlawanan perlu diperkuat melalui pendidikan, pengalaman, dan pembelajaran yang menanamkan rasa empati serta keberanian beraksi. Dengan demikian, generasi ini tidak hanya menjadi pengamat pasif terhadap dinamika sosial, tetapi aktif memegang peranan dalam membentuk perubahan positif. Kesadaran akan betapa pentingnya sikap kepahlawanan ini dapat menjadi pendorong utama bagi mereka untuk memberi makna nyata terhadap nilai-nilai luhur yang mereka anut dan untuk terus berkontribusi membangun bangsa dan masyarakat yang lebih baik. Sikap kepahlawanan yang harus dimiliki oleh Generasi Z meliputi sejumlah karakteristik yang esensial dalam menghadapi tantangan zaman. Pertama, keberanian untuk bertindak walaupun risiko menghadang, disertai dengan komitmen dan integritas tinggi. Generasi Z perlu menanamkan keberanian untuk memperjuangkan nilai-nilai kebaikan dan keadilan, tanpa takut terhadap tekanan sosial maupun ketidakpastian. Kedua, rasa tanggung jawab sosial menjadi fondasi utama dalam membangun karakter kepahlawanan. Mereka harus menyadari bahwa aksi nyata yang dilakukan memiliki dampak langsung terhadap lingkungan, masyarakat, dan bangsa secara keseluruhan. Rasa tanggung jawab ini mendorong mereka untuk peduli terhadap isu-isu keberlanjutan, keadilan sosial, dan kebhinekaan dengan kesadaran penuh. Ketiga, kepekaan dan empati adalah kualitas yang menuntut Generasi Z mampu memahami kondisi dan perasaan orang lain secara mendalam. Kepahlawanan tidak hanya bermakna kekuatan fisik atau keberanian di medan perang, melainkan juga kemampuan untuk berempati dan menunjukkan kepedulian terhadap sesama. Keempat, inovasi dan kreativitas menjadi aspek penting dalam mengatasi berbagai permasalahan yang kompleks. Generasi Z harus mampu memanfaatkan kreativitas sebagai alat untuk menciptakan solusi baru dan inovatif serta mampu menginspirasi orang lain melalui aksi nyata. Kelima, ketekunan dan disiplin merupakan nilai kunci dalam mengimplementasikan niat baik menjadi realisasi nyata. Menghadapi rintangan dan kegagalan, sikap pantang menyerah menjadi penentu keberhasilan dalam menegakkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan keberanian. Dengan mengintegrasikan sikap-sikap tersebut dalam kehidupan sehari-hari, Generasi Z dapat menjadi pahlawan masa depan yang tidak hanya berkarakter dan berwawasan luas, tetapi juga mampu menjembatani nilai-nilai mulia dengan aksi yang nyata dan berdampak positif bagi masyarakat dan bangsa.

Tantangan utama dalam menumbuhkan sifat kepahlawanan di kalangan Generasi Z meliputi kurangnya kesadaran akan nilai-nilai kepahlawanan yang sebenarnya, minimnya fasilitas dan ruang untuk beraksi, serta pengaruh budaya digital yang cenderung memusatkan perhatian pada hiburan dan konsumsi cepat. Selain itu, ketidakpastian ekonomi dan sosial turut membatasi keberanian dan inisiatif mereka untuk mengambil langkah nyata demi kebaikan masyarakat. Di sisi lain, adanya kecenderungan individualisme yang tinggi dapat mengurangi rasa solidaritas serta semangat berbakti.

Solusi untuk mengatasi tantangan tersebut melibatkan pendekatan edukatif yang menyentuh aspek moral dan karakter, serta penyediaan platform daring maupun luring yang memfasilitasi aksi nyata dan kolaborasi. Pembinaan budaya kepahlawanan harus dimulai sejak dini, dengan melibatkan keluarga, sekolah, dan komunitas dalam membangun kesadaran akan pentingnya pengabdian dan keberanian. Penggunaan media digital secara positif juga dapat menjadi alat efektif untuk membangkitkan inspirasi dan menggerakkan aksi, asalkan dikemas dengan pesan yang edukatif dan menggugah. Selain itu, perlu adanya contoh nyata dari tokoh dan pemuda yang telah berhasil menorehkan keberanian dan pengorbanan, sebagai teladan yang konkret dan dapat dicontoh. Dengan kombinasi pendekatan edukasi, fasilitas, serta teladan yang inspiratif, tantangan dalam menumbuhkan rasa kepahlawanan dapat diatasi secara efektif. Meskipun tantangan cukup kompleks, komitmen berkelanjutan dari semua unsur masyarakat diharapkan mampu menumbuhkan generasi yang tidak hanya memahami nilai-nilai mulia tetapi juga mampu mengimplementasikannya dalam tingkah laku nyata.

Masa depan kepahlawanan di Indonesia memegang peranan penting dalam menentukan arah pembangunan bangsa yang berintegritas dan berbudaya. Generasi Z, sebagai penerus bangsa, diharapkan mampu menjadi tunas yang kokoh dalam mendorong perubahan positif serta menjaga nilai-nilai luhur bangsa. Harapan tersebut didukung oleh komitmen untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya peran aktif dan tanggung jawab sosial, sekaligus memperkuat identitas bangsa yang penuh kebanggaan. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai kejujuran, keberanian, dan solidaritas, generasi muda mampu menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks, seperti globalisasi, konflik sosial, dan tantangan lingkungan.

Transformasi kepahlawanan tidak semata-mata sebagai legenda masa lalu, melainkan sebagai cerminan nilai yang terus relevan dan dibutuhkan saat ini. Melalui pendidikan, pengembangan karakter, serta penghargaan terhadap karya-karya inspiratif, diharapkan muncul pemimpin dan aktivis yang mampu menjadi agen perubahan di tingkat lokal maupun nasional. Keberhasilan menumbuhkan budaya kepahlawanan di masa depan akan memperkuat fondasi sosial dan politik Indonesia, memastikan terciptanya masyarakat yang berkeadilan dan berdaya saing. Oleh karena itu, investasi dalam pembinaan karakter dan kepemimpinan generasi muda mutlak dilakukan agar cita-cita bangsa dapat terus berlanjut dan berkembang secara berkelanjutan. Dengan semangat optimisme dan tekad kuat, Indonesia di masa depan dapat meraih kemakmuran dan kedamaian yang berakar dari budaya kepahlawanan yang kokoh dan lestari.

Dalam perjalanan membangun bangsa yang berdaya dan berintegritas, peran kepahlawanan tetap menjadi fondasi penting. Generasi Z, sebagai penerus estafet bangsa, memiliki potensi luar biasa untuk menumbuhkan semangat kepahlawanan yang sesuai dengan nilai-nilai mulia dan kebutuhan zaman. Kepahlawanan bukan sekadar pengorbanan besar di medan perang, melainkan juga aksi nyata dalam kehidupan sehari-hari, seperti berkontribusi aktif dalam masyarakat, memperjuangkan keadilan, dan memupuk kepekaan terhadap masalah sosial. Tantangan besar yang dihadapi adalah menjaga agar nilai-nilai tersebut tidak tergerus oleh budaya apatis dan individualisme yang berkembang pesat di era digital. Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara pendidikan karakter, media, dan kesadaran akan pentingnya aksi nyata yang relevan dengan konteks masa kini. Kisah-kisah inspiratif dari pemuda yang peduli membuktikan bahwa setiap individu mampu memberi dampak positif jika memiliki tekad dan keberanian untuk bertindak. Melalui langkah-langkah praktis seperti penguatan nilai-nilai moral dalam pendidikan, kampanye kepedulian sosial, dan pengembangan komunitas yang berorientasi aksi nyata, generasi Z dapat meneguhkan semangat kepahlawanan mereka. Harapan besar terletak pada keberlangsungan dan konsistensi upaya tersebut agar kepahlawanan makin menyatu dalam jiwa dan tindakan. Dengan demikian, masa depan Indonesia diwarnai oleh generasi yang tidak hanya sadar akan nilai-nilai mulia, tetapi juga mampu menjadikannya sebagai landasan nyata dalam menjalani kehidupan dan memperjuangkan kemajuan bangsa. Kepahlawanan, dalam bentuk apa pun, tetap relevan sebagai sebuah identitas (AEP,08/11/2025).

* Penulis adalah pemerhati dalam bidang pendidikan